Bagi Jepang, pesona limbah cangkang sawit (Palm Kernel Shell/PKS) sebagai sumber energi yang ramah lingkungan sudah bukan hal yang baru. Meskipun demikian, mayoritas negara di dunia belum menyadari potensi cangkang sawit tersebut dan masih menganggap cangkang sawit sebagai sampah yang tidak berguna.
Namun, di tangan ajaib para peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) yang terdiri dari Dr. Sunu H. Pranolo, Dr. Joko Waluyo, Dr. Ary Setyawan, dan Dr. Prabang Setyono, limbah tersebut dapat dimanfaatkan menjadi pemanas hot mix asphalt atau campuran beraspal panas melalui proses gasifikasi.
Baca Juga: Tata Niaga TBS Sawit Butuh Perbaikan?
Dengan teknologi tersebut, tim berhasil menemukan inovasi pemanasan tanpa menurunkan kualitas aspal maupun kualitas jalan raya hasil penggelaran dengan aspal hotmix tersebut. Dengan dimanfaatkannya limbah tersebut, biaya produksi pemanasan aspal hotmix yang biasanya menggunakan minyak bumi berupa solar bisa ditekan jauh lebih murah.
Ketua tim peneliti, Dr. Sunu mengemukakan, cangkang sawit dipilih sebagai bahan baku selain karena nilai kalor pembakarannya yang relatif tinggi (17–19 MJ/kg) dibanding biomassa lain, ketersediaannya juga cukup melimpah terutama di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan yang pembangunan infrastruktur jalan rayanya dikembangkan secara masif.
Tidak hanya itu, secara keekonomian, penggunaan teknologi ini mampu menekan biaya konsumsi bahan bakar hingga mencapai 75 persen. Meskipun dalam pengolahannya diperlukan instalasi awal alat gasifikasi beserta kelengkapannya, biaya produksi masih cenderung lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar minyak.
Untuk memanaskan aspal hotmix 1 ton hanya dibutuhkan sekitar 30–40 kilogram cangkang sawit yang harganya Rp700 per kilogram. Sementara itu, untuk memanaskan 1 ton aspal hotmix dibutuhkan BBM sebanyak 14 liter.
"Jika dihitung, tetap lebih ekonomis hampir 75 persen meski harus ada biaya pendirian infrastruktur ditambah tambahan tenaga kerja operasi gasifikasi. Untuk infrastruktur, bisa impas dalam waktu dua tahun jika ada proyek pas ngaspalan. Sementara, alat bisa dipakai hingga 10 tahun," papar Dr. Sunu.
Sementara itu, peneliti aspal, Dr. Ary Setyawan menambahkan, berdasarkan penelitian teknikal, aspal hotmix yang dipanaskan dengan gasifikasi cangkang sawit kualitasnya tidak mengalami penurunan. Aspal hotmix yang dipanaskan dapat dibawa hingga sejauh 10 km dari lokasi industri Asphalt Mixing Plant (AMP) atau lokasi pemanasan aspal. "Dengan efisiensi biaya produksi, dengan biaya yang sama, jalan yang diaspal bisa jauh lebih panjang," paparnya.
Dengan inovasi tersebut, tim berhasil meraih dana Grant Riset dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) senilai Rp3,5 miliar. Tim peneliti telah membangun instalasi gasifikasi limbah cangkang sawit di PT Bara Energi Biomas yang berlokasi di Sekadau, Kalimantan Barat.
Ary menmbahkan, tim berharap hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai pertimbangan ilmiah pengesahan dan penerbitan kebijakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) terhadap penggunaan gas hasil gasifikasi cangkang sawit di samping bahan bakar fosil untuk sumber energi pemanas pada proses produksi campuran beraspal panas.
Dampak penerapan kebijakan ini berpotensi pada penghematan anggaran infrastruktur. Ditambah lagi, industri perkebunan kelapa sawit juga mendapat manfaat atas pengurangan limbah padat yang dihasilkan dalam setiap pengolahan TBS.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: