Abaikan Hukuman Kritik Monarki, Pedemo Thailand Pasang Plakat Rakyat
Puluhan ribu orang berkumpul di Ibu Kota Thailand, Bangkok, untuk memprotes monarki. Mereka memasang "Plakat Rakyat' di dekat istana dan menuntut kekuasaan Raja Maha Vajralongkorn dibatasi.
Polisi mengklaim jumlah total pengunjuk rasa yang berdatangan sejak hari Sabtu sekitar 18.000 orang. Namun kubu demonstran mengatakan jumlah massa mencapai sekitar 50.000 orang.
Baca Juga: Mulai Aktivis hingga Mahasiswa, Lantang Tuntut Demokrasi di Thailand
Kritik terhadap monarki bisa berakibat pada hukuman penjara yang lama. Kondisi itu membaut demonstran melalukan pembangkangan dengan meletakkan "Plakat Rakyat" di dekat Grand Palace Bangkok sebagai tantangan langsung bagi Raja Maha Vajralongkorn.
Para pemimpin mahasiswa pro-demokrasi memegang plakat bertuliskan "Negara ini milik rakyat" di lapangan Sanam Luang selama protes di Bangkok, Thailand, Minggu (20/9/2020). Mereka bersama puluhan ribu demonstran menuntut reformasi monarki.
Plakat bertuliskan "Negara milik rakyat, bukan monarki" tersebut menggemakan kata-kata para pemimpin dari pergolakan 1932 yang mengakhiri monarki absolut.
"Saya berharap orang-orang yang berkuasa akan melihat pentingnya rakyat," kata pemimpin mahasiswa Panupong "Mike" Jadnok, kepada kerumunan massa, seperti dilansir Reuters, Senin (21/9/2020).
"Kami berjuang untuk menempatkan monarki di tempat yang tepat, bukan untuk menghapusnya."
Para pengunjuk rasa meneriakkan tuntutan anti-monarki, seperti "Ganyang feodalisme, panjang umur rakyat". Para pengunjuk rasa juga menuntut Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mengundurkan diri.
“Orang-orangnya (rakyat Thailand) adalah manusia, bukan debu di bawah kaki kerajaan Anda,” kata pemimpin mahasiswa, Panusaya Sithijirawattanakul, dalam protes Minggu pagi.
“Rakyat menginginkan raja yang melindungi demokrasi, bukan raja yang mengkhianati demokrasi rakyat.”
Massa juga menuntut pemotongan anggaran kerajaan dan perubahan konstitusi yang secara signifikan akan mengekang kekuasaan raja. Para pengunjuk rasa mengkritik ketidakhadiran raja dari negaranya, setelah tinggal di Eropa untuk sebagian besar waktu sejak ia mewarisi takhta dari mendiang ayahnya pada 2016.
"Kecuali jika monarki berada di bawah konstitusi, kami tidak akan pernah mencapai demokrasi sejati," kata pemimpin protes dan pengacara hak asasi manusia Arnon Nampa kepada kerumunan yang berkumpul.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mengambil alih kekuasaan pada tahun 2014 yang oleh beberapa orang disebut sebagai kudeta. Dia memenangkan pemilu yang disengketakan tahun lalu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: