Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Totalitas, Pelaku Labelisasi Palm Oil Free Ditunggu Sanksi Tegas!

        Totalitas, Pelaku Labelisasi Palm Oil Free Ditunggu Sanksi Tegas! Kredit Foto: Instagram/kraft_id
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Berbagai bentuk black campaign yang diinisiasi oleh pihak maupun negara antisawit sepertinya tidak cukup berhenti pada munculnya tariff barrier serta pemberitaan dan isu negatif terkait lingkungan, sosial, dan kesehatan saja, tetapi juga melibatkan konsumen produk makanan hingga non-pangan.

        Persaingan dagang dan kalah popular produsen dan eksportir minyak nabati di dunia terutama Uni Eropa diduga menjadi faktor utama yang mendorong kampanye tersebut bermunculan. Kendala perdagangan tersebut berlanjut pada penggunaan labelisasi pangan tanpa minyak sawit atau kerap popular dengan label Palm Oil Free (POF).

        Tahun 2016, pertama kalinya produk berlabel POF ditemukan di rak sebuah swalayan di Jakarta. Sejak saat itu, ditemukan produk-produk lain yang juga berlabel sama termasuk di berbagai produk industri rumahan di Indonesia.

        Baca Juga: Apkasindo Soal Biodiesel: Jika Ada NGO Mengkritik, Pasti Bukan Petani Sawit

        Beberapa produsen makanan dan peritel kebutuhan rumah tangga seperti IKEA atau ritel besar di Inggris, Iceland, dan belum lama ini produsen selai cokelat bermerek Hazelnut Kraft Heinz, mempromosikan penggunaan pangan bebas minyak sawit (POF) di Kanada.

        Kendati demikian, beberapa di antara perusahaan produsen produk tersebut seperti peritel Delheiz Group (Superindo) yang berpusat di Belanda telah mencabut pemasaran produk berlabel POF, namun sepertinya model perdagangan dan promosi POF akan terus berlangsung di dunia. Padahal, model perdagangan tersebut bertentangan dengan regulasi pangan di Uni Eropa.

        Menanggapi kondisi tersebut, Deputi III Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Reri Indriani menyebutkan secara aturan, label POF bertentangan dengan Pasal 67 poin 1 peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2008 tentang Label Pangan Olahan. Sedangkan, secara Internasional Codex Alimentarius (2017), label olahan dilarang memuat informasi yang salah atau menyesatkan.

        "Aturannya jelas, pangan olahan yang secara alami tidak mengandung komponen tertentu, maka dilarang memuat klaim bebas memuat komponen tersebut kecuali dari awal sudah mengandung komponen tersebut lalu dengan satu proses dilakukan pengurangan, maka diperbolehkan seperti misalnya terjadi pada produk susu dalam kemasan," jelas Reri.

        Berkembangnya perdagangan melalui platform online menjadi tantangan tersendiri karena kini produk dari luar negeri bisa masuk ke Indonesia dengan lebih bebas.

        "Selain pencantuman label POF yang tinggi, Cyber Patrol yang juga kami temukan pelanggaran tidak memiliki izin edar yang juga lebih tinggi, maka akan dikenakan pasal berlapis," ungkap Reri.

        Lebih lanjut Reri mengatakan, apabila produsen makanan terus menerapkan labelisasi pangan dengan mencantumkan POF, bakal dikenakan sanksi sesuai regulasi. Sanksi paling ringan berupa teguran dan sanksi terberat yakin pencabutan izin SPP-IRT bagi pelaku UKM dan izin edar bagi produsen besar.

        Sementara itu, Deputi Director Council of Palm Oil Producer Countries (CPOPC) Dupito Simamora menyatakan label POF bukan berdasar regulasi pemerintah, tetapi dilakukan oleh swasta atau pengusaha. Meskipun aturan dan sanksi sudah jelas, namun terjadi pembiaran.

        "Label POF ini bisa jadi marketing strategi dengan memberikan klaim lebih sehat, lebih ramah lingkungan, namun sebenarnya merupakan boikot kelapa sawit karena memengaruhi konsumen secara langsung," ujar Dupito.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: