Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Jenderal Muslim Ini Sudah Tunduk pada Israel, Palestina Makin Gawat

        Jenderal Muslim Ini Sudah Tunduk pada Israel, Palestina Makin Gawat Kredit Foto: Antara/REUTERS/Mussa Qawasma
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Satu lagi negara muslim tunduk untuk menyepakati perdamaian dengan Israel. Ya, kali ini giliran Sudan yang dikabarkan akan segera menandatangani kesepakatan normalisasi dengan Bangsa Yahudi itu.

        Informasi yang dihimpun dari kantor media massa Israel, i24NEWS, Jumat (25/9/2020), Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu akan bertolak dari Tel Aviv menuju Afrika untuk menandatangi kesepakatan damai dengan Sudan. Direncanakan, perjanjian damai akan dilangsungkan akhir pekan ini di Uganda.

        Baca Juga: Mulai Terbuka, Raja Bahrain Ungkap Alasan Buka Hubungan ke Israel

        Sudan dikabarkan mau berdamai setelah Ketua Dewan Kedaulatan Sudan atau Kepala Negara Transisi Sudan, Letnan Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan, dikabarkan telah tunduk pada Israel.

        Israel berhasil menundukkan Jenderal Abdel Fattah dengan iming-iming penghapusan Sudan dari daftar terorisme yang diterbitkan Amerika Serikat. Daftar itu diterbitkan Amerika sejak 1990, dampaknya sangat fatal bagi Sudan. Mereka terkena sanksi yang berat. Bahkan Sudan tak bisa mendapatkan bantuan internasional untuk mengatasi krisis ekonomi yang menghantam.

        Dilaporkan, sebelumnya memang Jenderal Abdel Fattah menggelar pertemuan rahasia dengan Netanyahu di Uganda. Meski sifatnya rahasia, namun Israel telah mengumumkan hasil pertemuan itu.

        "Israel, Sudan, dan seluruh wilayah akan mendapat keuntungan dari perjanjian perdamaian dan bersama-sama dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi semua rakyat di wilayah itu. Kami akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk mewujudkan visi ini," tulis Netanyahu dalam siaran resminya.

        Dengan kabar ini, Sudan menjadi negara muslim ketiga di dunia yang berdamai dengan Israel. Sebelumnya perdamaian dilakukan Uni Emirat Arab dan Bahrain. Perlu diketahui, Sudan merupakan negara yang 97 persen penduduknya memeluk agama Islam.

        Dan efek dari perdamaian ini akan berdampak langsung pada Palestina. Negeri itu kini berada dalam bahaya sebab dipastikan Palestina akan semakin sulit lepas dari penjajahan bangsa Yahudi di Gaza.

        Dalam sejarahnya, permusuhan negara-negara Islam dengan Israel mulai tercipta seiring meletusnya Perang Arab Israel pada 1948, perang pecah sehari setelah Israel memproklamirkan kemerdekaan pada 26 Mei 1948.

        Negeri Yahudi itu diserang tentara gabungan dari Mesir, Suriah, Lebanon, Yordania, Irak, Arab Saudi, Yaman, Sudan dan beberapa negara lainnya.

        Semua negara Islam marah setelah secara sepihak PBB membagi wilayah Palestina dalam dua bagian. Gilanya PBB memberikan 55 persen wilayah Mandat Britania atas Palestina kepada Israel. Dan wilayah Israel semakin meluas menjadi menguasai 70 persen wilayah itu setelah berhasil memenangkan Perang Arab-Israel 1948.

        Meski demikian, Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok mengatakan normalisasi hubungan dengan Israel adalah masalah rumit. Ia menyebut hal itu membutuhkan perdebatan luas di dalam masyarakat.

        Hamdok mengungkapkan telah menjalin pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo. Terdapat dua hal yang dibahas, yakni tentang pencabutan sanksi Washington dan normalisasi dengan Israel. Dia menyampaikan kepada Pompeo agar kedua isu itu dibahas secara terpisah dan tidak dicampurkan. Ia menjelaskan bahwa kesepakatan apapun dengan Israel berisiko merusak persatuan politik Sudan yang rapuh.

        Baca Juga: Tolak Mentah-mentah Tawaran Israel, Sudan: Demi Perdamaian

        "Ini adalah masalah yang memiliki banyak komplikasi lain. Ini membutuhkan diskusi mendalam di dalam masyarakat kita," ujarnya dikutip laman Al Araby pada Minggu (27/9/2020).

        Hamdok memimpin pemerintahan transisi sejak tahun lalu, yakni setelah mantan Presiden Omar al-Bashir digulingkan. Pekan lalu, delegasi tingkat tinggi Sudan melakukan kunjungan ke Uni Emirat Arab (UEA). Selain bertemu pejabat-pejabat UEA, mereka pun mengadakan pembicaraan dengan perwakilan AS.

        Delegasi Sudan dipimpin kepala dewan kedaulatan transisi Jenderal Abdel-Fattah al-Burhan. Selain membahas tentang pencabutan sanksi AS, dia pun disebut membicarakan tentang potensi normalisasi hubungan dengan Israel.

        Menurut situs berita Axios, mengutip keterangan beberapa sumber dari pemerintahan Sudan, dalam pertemuan tersebut, delegasi Sudan meminta bantuan kemanusiaan dengan nilai lebih dari tiga miliar dolar AS. Dana itu bakal dimanfaatkan untuk mengatasi krisis ekonomi dan dampak banjir bandang yang menghancurkan.

        Selain itu, Sudan akan meminta komitmen AS dan UEA untuk memberikan bantuan ekonomi kepadanya selama tiga tahun ke depan. Sebagai imbalannya, Sudan bersedia melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel. Al-Burhan hanya mewakili faksi militer di pemerintahan.

        Faksi sipil, termasuk Perdana Menteri Abdalla Hamdok masih ragu untuk melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel. Mereka khawatir hal itu akan memicu gelombang protes domestik.

        Pada Sabtu pekan lalu, al-Burhan mengatakan ada "kesempatan untuk perubahan. "Kita memiliki kesempatan untuk menghapus Sudan dari daftar negara sponsor terorisme dan mencapai integrasi dalam komunitas global," ujarnya.

        Sudan telah digadang-gadang bakal menjadi negara yang melakukan normalisasi diploamtik dengan Israel pasca UEA dan Bahrain.

        Pada 15 September lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif bin Rashid Al Zayani, dan Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed telah menandatangani perjanjian damai di Gedung Putih. Presiden AS Donald Trump turut menyaksikan proses penandatanganan bersejarah tersebut. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: