Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Nasib 7 Perusahaan Konglomerat Bakrie Group: Dari yang Paling Mujur hingga yang Babak Belur

        Nasib 7 Perusahaan Konglomerat Bakrie Group: Dari yang Paling Mujur hingga yang Babak Belur Kredit Foto: Officespace.co.id
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Bakrie Group merupakan salah satu konglomerasi bisnis terbesar di Indonesia. Kelompok usaha Bakrie ini didirikan oleh Achmad Bakrie sejak tahun 1942 silam. Sampai dengan saat ini, Bakrie Group telah berkembang dengan berbagai lengan bisnis yang merambah hampir semua sektor, mulai dari migas, pertambangan, telekomunikasi, hingga properti.

        Sebagai konglomerasi raksasa, bagaimana kinerja keuangan dari tujuh perusahaan tercatat milik Bakrie Group sepanjang semester I 2020 ini? Akankah seluruhnya mampu mencetak kinerja positif di tengah pandemi Covid-19 atau justru sebaliknya? Simak ulasannya berikut ini. Baca Juga: Ace Hardware: Perusahaan Ritel yang Getol Tambah Gerai Baru di Mana-Mana, Ini Daftar Lengkapnya!

        Baca Juga: Nasib Bank Milik Konglomerat RI: Dari Hartono, Hary Tanoe, hingga Chairul Tanjung

        1. Energi Mega Persada - Migas

        Kerajaan bisnis Bakrie Group di sektor minyak dan gas (migas) dijalankan oleh PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG). Boleh dikatakan, ENRG menjadi yang paling mujur di antara perusahaan-perusahaan Bakrie lainnya pada paruh pertama tahun 2020 ini. Pasalnya, di tengah situasi sulit, ENRG justru mendulang cuan ratusan miliar rupiah.

        Baca Juga: Perusahaan Migas Konglomerat Bakrie Ibarat Ketiban Durian Runtuh: Cuan, Cuan, Cuan!

        Terhitung sampai dengan akhir semester I 2020, ENRG mengantongi laba bersih senilai US$27,34 juta atau setara dengan Rp408,05 miliar. Angka tersebut bertumbuh 3% dari tahun lalu yang hanya US$26,62 juta atau setara Rp397,30 miliar. 

        Tak heran jika laba tumbuh subur, mengingat periode tersebut penjualan ENRG meningkat dua digit. Per Juni 2020, ENRG mengantongi penjualan sebesar  US$148,93 juta atau setara Rp2,22 triliun. Capaian tersebut tumbuh 28% dari semester pertama 2019 yang kala itu hanya sebesar US$116,35 juta atau setara Rp1,74 triliun.

        Direktur Utama ENRG, Syailendra S. Bakrie, mengungkapkan bahwa pertumbuhan kinerja perusahaan didongkrak oleh peningkatan produksi minyak dan gas, yakni di Blok Malacca Riau yang merupakan produsen minyak utama ENRG, serta Blok Bentu Riau dan Blok Kangean Jawa Timur yang merupakan kontributor terbesar produksi gas ENRG.

        "ENRG cukup beruntung karena lebih dari 90% dari jumlah produksi dan cadangan perusahaan adalah gas, di mana dalam beberapa tahun terakhir harga jual gas terlihat lebih konsisten dari harga jual minyak yang lebih berfluktuasi," pungkas Syailendra, Jakarta, Rabu, 30 September 2020.

        Ia melanjutkan, untuk ke depannya ENRG akan terus meningkatkan produksi migas dari portofolio aset-aset yang ada saat ini. Bahkan, Syailendra menyatakan akan mengkaji kemungkinan untuk mengakuisisi aset baru di masa mendatang.

        2. Bumi Resources Minerals - Tambang Emas

        Sektor pertambangan emas turut menjadi bagian dari kerajaan bisnis Bakrie Group. Melalui PT Bumi Resources Minerals Tbk (BMRS), konglomerat Bakrie menjalankan bisnis tambang emas yang sayangnya ikut tertekan oleh pandemi Covid-19.

        Baca Juga: Astaghfirullah! Harga Emas Antam Anjlok Parah, Sekarang Cuma Rp900 Ribuan!

        Merujuk pada laporan keuangan perusahaan, pada semester I 2020 ini pendapatan BRMS merosot sebesar 13,85% menjadi US$2,55 juta. Padahal, BRMS mampu mengantongi pendapatan US$2,96 juta pada semester I 2020. Menariknya, laba bersih perusahaan justru terkerek naik tipis 0,50% dari US$950,59 ribu pada Juni 2019 menjadi US$955,39 ribu pada Juni 2020.

        Director & Investor Relations BRMS, Herwin W. Hidayat mengungkapkan bila sekitar 16% atau US$408,32 ribu pendapatan perseroan berasal dari produk emas yang dihasilkan oleh anak usaha BRMS, yaitu PT Citra Palu Minerals di Poboya, Palu, Sulawesi. 

        “Adapun sisa dari pendapatan yang dibukukan berasal dari jasa penasehat pertambangan,” ujar Herwin pada Senin, 7 September 2020 lalu.

        Ia menambahkan, kinerja BRMS mengalami perbaikan secara kuartalan, khususnya dalam penjualan produk emas. Menurut penuturannya, penjualan emas pada kuartal kedua mencapai porsi 90% dari total pendapatan. Pasalnya, pada kuartal pertama tahun 2020, BRMS hanya mampu membukukan pendapatan atau penjualan emas sebesar US$99,86 ribu atau setara 10% dari total keseluruhan. 

        Ia juga menyebutkan, sepanjang semester I 2020 ini, fasilitas produksi milik BRMS di Poboya, Palu, telah menghasilkan dan mengirimkan lebih dari 25 kg dore bullion ke fasilitas pemurnian (smelter) Logam Mulia di Jakarta yang dioperasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk (Antam).

        3. Bumi Resources - Tambang Batu Bara

        Perusahaan Bakrie Group berikutnya masih dari sektor pertambangan, khususnya tambang batu bara, yakni PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Jika beberapa perusahaan Bakrie sebelumnya mampu mengantongi laba, hal sebaliknya justru dialami BUMI yang pada paruh pertama tahun 2020 ini harus menelan pil pahit.

        Baca Juga: Mayoritas Perusahaan Batu Bara Milik Konglomerat RI Telan Pil Pahit! Ini Daftarnya!

        Dalam laporan keuangan perusahaan, BUMI menanggung rugi sebesar US$86,1 juta pada semester I 2020. Padahal, perusahaan ini mampu mengantongi laba bersih sebesar US$80,7 juta pada semester I 2019 lalu. Asal tahu saja, laba usaha BUMI secara tahunan menurun 55% dari US$298,2 juta menjadi US$132,7 juta.

        Hal itu terjadi karena pendapatan BUMI tergerus selama enam bulan pertama tahun ini. Per Juni 2020, pendapatan yang dikantongi BUMI hanya sebesar US$1.971,9 juta atau lebih rendah 13% dari Juni 2019 lalu yang mencapai US$2.274,5 juta. Pada saat yang bersamaan, beban pokok pendapatan juga ikut turun sebesar 7% dari US$1.867,1 juta menjadi hanya US$1.733,8 juta.

        Director & Corporate Secretary BUMI, Dileep Srivastava, mengungkapkan bahwa biang kerok dari anjloknya kinerja BUMI tidak lain adalah realisasi harga batu bara yang menurun tajam hingga 12% ke level US$46,9 per ton pada semester I 2020 sebagai imbas dari tidak stabilnya permintaan logam hitam itu dari China, India, dan sejumlah negara Asia lainnya.

        "Hal ini dipicu oleh pandemi Covid-19 sebagai faktor penyebab utama. Penjualan di 1H2020 tetap stabil dari 1H2019 meskipun di tengah kondisi pasar yang merugikan," tegasnya dalam keterangan yang diterima Warta Ekonomi.

        Ia menambahkan, sepanjang enam bulan pertama tahun ini, volume penjualan batu bara masih stabil di angka 41,2 MT yang terdiri atas penjualan KPC sebesar 29,5 MT (-2% yoy) dan Arutmin sebesar US$11,6 MT (+2 yoy).

        "Meski ketidakpastian pasar masih membebani harga batu bara dalam jangka pendek, BUMI berkeyakinan bahwa ke depannya industri batubara akan terus berkembang, terutama dengan pengembangan proyek-proyek hilirisasi batubara dalam jangka menengah," sambungnya.

        4. Bakrie & Brothers - Infrastruktur dan Manufaktur

        Perusahaan sektor industri infrastruktur dan manufaktur milik Bakrie Group juga harus menelan pil pahit pada semester I 2020 ini, ialah PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR). Bagaimana tidak, per Juni 2020, BNBR tercatat merugi sebesar Rp125,34 miliar. Capaian tersebut berbanding terbalik dari Juni 2019 yang kala itu BNBR mengantongi laba bersih Rp22,68 miliar.

        Kerugian yang ditanggung BNBR merupakan imbas dari anjloknya pendapatan perusahaan selama pandemi Covid-19 menghantam. Merujuk laporan keuangan perusahaan, pendapatan BNBR turun sedalam 23,04% dari Rp1,71 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp1,31 triliun pada Juni 2020.

        Kontribusi pendapatan dari bisnis infrastruktur dan manufaktur ikut amblas 20,2% menjadi Rp1,18 triliun. Begitu pun juga dengan pendapatan lini jasa pabrikasi dan konstruksi yang tercatat anjlok 34,45% menjadi Rp136,27 miliar. Bahkan, pendapatan dari sektor perdagangan, jasa, dan investasi ikut amblas menjadi Rp24,34 miliar.

        Faktor yang juga turut menyebabkan BNBR tekor pada semester I 2020 adalah kerugiaan selisih kurs yang ditanggung perusahaan mencapai Rp49,83 miliar. Tahun sebelumnya, BNBR mampu mengantongi laba selisih kurs sebesar Rp27,58 miliar.

        Bagaimanapun, BNBR mampu menekan beban pokok pendapatan sedalam 15,75% menjadi Rp1,08 triliun pada awal tahun ini. Ditambah lagi, beban usaha juga mengalami perbaikan tipis sebesar 0,12% menjadi Rp284,40 miliar per Juni 2020.

        5. Bakrie Telecom - Telekomunikasi

        Jaringan Bakrie Group selanjutnya datang dari sektor telekomunikasi, yakni PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL). Emiten yang kini berhadapan pula dengan potensi delisting dari BEI ini berhasil membukukan pendapatan bersih sebesar Rp2,11 miliar pada semester I 2020. Capaian tersebut bertumbuh 21,26% dari pendapatan semester I 2019 yang hanya Rp1,74 miliar.

        Meskipun begitu, BTEL belum mampu lepas dari jerat kerugian. Dengan menanggung rugi usaha sebesar Rp4,51 miliar pada semester pertama tahun 2020, rugi bersih perusahaan membengkak signifikan dari Rp91,75 miliar pada Juni 2019 menjadi Rp174,37 miliar pada Juni 2020. 

        Faktor yang paling menekan keuangan BTEL ialah membengkaknya beban bersih dari yang sebelumnya Rp85,86 miliar pada tahun lalu menjadi Rp169,86 miliar pada tahun ini. Beban tersebut disebabkan oleh rugi selisih kurs yang ditanggung BTEL sebesar Rp169,85 miliar. Adapun pada tahun lalu, BTEL mengantongi laba selisih kurs sebesar Rp131,46 miliar.

        6. Bakrieland dan Darma Henwa

        Dua perusahaan Bakrie Group berikutnya adalah PT Darma Henwa Tbk (DEWA) dan PT Bakrieland Development Tbk (ELYT). Keduanya sampai saat ini belum melakukan publikasi laporan keuangan semestes I 2020.

        DEWA bergerak di bidang pertambangan dan membukukan pendapatan sebesar US$ 81,98 juta di kuartal I-2020 atau meningkat 24% dari tahun sebelumnya yang hanya US$66,11 juta. Sementara itu, Bakrieland yang bergerak di bidang properti tercatat membukukan pendapatan Rp728,95 miliar pada kuartal III 2019, turun 9,05% dibanding periode sama tahun lalu sebesar Rp801,53 miliar.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Lestari Ningsih
        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: