Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Alamak, Lembaga Survei Rela Bayar 20 Dolar saat Wawancara Calon Pemilih AS

        Alamak, Lembaga Survei Rela Bayar 20 Dolar saat Wawancara Calon Pemilih AS Kredit Foto: Reuters/Hannah McKay
        Warta Ekonomi, Washington -

        Hingga tadi malam, kejar-kejaran perolehan suara antara calon Presiden Amerika Serikat (AS) yang juga petahana, Donald Trump dengan lawannya Joe Biden masih belum ada hasil pastinya.

        Padahal, sebelum hari pemungutan suara 3 November 2020, Biden bahkan diprediksi bisa dengan mudah meraih 330 lebih electoral college. Fenomena itu juga sempat dialami Hillary Clinton, yang juga dijagokan pada pemilihan presiden (Pilpres) AS 2016. Namun kemudian dimenangkan Trump.

        Baca Juga: Joe Biden Hanya Butuh 6 Suara Tambahan Untuk Tumbangkan Trump

        Hingga Rabu malam pukul 19.00 (4/11/2020) Waktu Indonesia Barat (WIB), Biden masih unggul tipis. Selisihnya hanya belasan suara. Namun dengan kecenderungan suara bagi Trump terus naik.

        Sebelumnya pada 2016, meski Hillary selalu di atas angin, dua lembaga survei Dornsife Center for Economic and Social Research USC, yang mengawasi survei USC/Los Angeles Times, pimpinan Arie Kapteyn, memberikan keunggulan tipis tiga poin menjelang hari pemilihan pada Trump.

        Lembaga lainnya, Trafalgar Group pimpinan Robert Cahaly, yang berafiliasi dengan Partai Republik, juga melakukan survei pra pemilihan. Survei itu menunjukkan, Trump mengalahkan Hillary di Pennsylvania, Michigan, Wisconsin, Florida, dan Carolina Utara. Di mana semua negara bagian itu dimenangkan Trump pada 2016.

        Tahun ini, hasil survei bisa saja meremehkan dukungan Trump. Alasannya adalah, karena pemilih Trump yang “malu-malu”. Mereka enggan menyampaikan pendapatnya karena takut dihakimi. Istilah “pemilih pemalu” banyak dilontarkan pendukung Trump, meski dianggap skeptis pendukung Demokrat.

        Kapteyn dan Cahaly punya informasi khusus, tentang mengapa, dan bagaimana, dukungan Trump mungkin tidak terdeteksi. Bagi Cahaly, suara itu kemungkinan akan membuat perbedaan lagi.

        Dia meyakini, ada banyak suara Trump yang tersembunyi di luar sana. Meski dia juga mengakui, Biden mungkin akan memenangkan pemilihan secara nasional.

        “Tapi saya pikir Trump kemungkinan besar akan mendapatkan kemenangan dari electoral college,” kata Cahaly, dikutip dari media politik AS, Politico.

        Cahaly mengistilahkan, AS adalah tempat di mana warganya “berbohong pada akuntan mereka, berbohong pada dokter, dan berbohong pada pendeta mereka”. Dan tak aneh jika mereka berbicara bohong pada lembaga survei yang menghubungi melalui sambungan telepon.

        Menurutnya, mengandalkan sambungan telepon di era modern ini adalah hal yang bias. Ketika seseorang ditanya pendapat soal Trump oleh orang yang tidak dikenal, maka orang itu akan memberikan jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan penanya. Itu akan memberikan kesan yang baik bagi orang yang ditanya.

        “Kami telah melihat ini dari tahun ke tahun. Itu sangat berperan tahun ini,” ucap Cahaly.

        Lagipula, sambung dia, tak peduli di lingkungan apa pun, baik keluarga maupun tempat kerja, sebagian orang tidak suka membicarakan politik. Terutama ketika mereka merasa pendapat mereka minoritas. Dia meyakinkan, ada banyak bukti terkait hal itu.

        Menurutnya, dalam kondisi seperti itu, orang berhati-hati dalam mengungkapkan pendapatnya. Tahun ini, tambah Cahaly, juga akan banyak warga yang sebelumnya tidak aktif dalam pemilu, akan memberikan suaranya. Dia yakin, itu akan jadi yang tertinggi sepanjang sejarah gelaran Pemilu di AS.

        “Kami juga melakukannya tahun ini. Ini akan membuat orang-orang terkejut,” ungkapnya. Dalam survei yang dilakukannya, Cahaly mengaku memakai banyak cara agar warga bisa berpartisipasi. Bisa secara online, melalui SMS atau surat elektronik.

        Lembaganya juga tidak memaksa responden untuk menjawab pada saat itu juga. Pihaknya yang memberi waktu pada responden untuk menjawabnya di waktu senggang.

        “Tidak apa-apa. Kami membuatnya sangat mudah. Hanya butuh kurang dari tiga menit jika Anda melakukan semuanya sekaligus,” ujarnya.

        Sedangkan Kapteyn menggambarkan apa yang dilihat timnya di USC, dalam melaksanakan surveinya. Selain bertanya kepada pemilih, apakah mereka mendukung Biden atau Trump, USC mengajukan pertanyaan “lingkaran sosial”.

        Mereka menanyakan, siapakah yang akan dipilih oleh teman atau tetangga responden. Cara itu dianggap memudahkan untuk berbagi pendapat yang sebenarnya. Tanpa takut dihakimi karena pandangan mereka.

        Dalam melakukan survei, lembaganya menggunakan berbagai cara. Melalui internet, atau mengirimkan surat ke rumah responden yang dilakukan secara acak. Mereka juga me- rekrut orang untuk ikut dalam studi yang mereka lakukan. Dan membayar para rekrutan itu. Sehingga mereka memiliki hubungan saling percaya.

        “Kami membayar mereka 20 dolar AS (sekitar Rp 290 ribu) untuk bergabung, untuk melakukan wawancara sekitar 30 menit,” beber Kapteyn.

        Dia menambahkan, selama bertahun-tahun, preferensi politik semakin terlokalisasi. Misalkan, satu daerah adalah Demokrat yang aman. Sedangkan daerah lainnya adalah Republik.

        Jika seseorang adalah minoritas atau berlawanan dengan mayoritas di daerah itu, maka menurutnya, diskusi politik sipil sudah tidak ada lagi.

        Menurut Kapteyn, orang akan lebih berhati-hati dalam mengungkapkan preferensi politik mereka, jika merasa bahwa seluruh lingkungannya memiliki pendapat yang berbeda. Dalam hal itu, ada kecocokan dengan “rasa malu”.

        Setidaknya dalam percakapan sehari-hari. Ini tidak sama dengan menjawab telepon seseorang yang belum pernah diajak bicara. “Tapi ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang berhati-hati dalam mengungkapkan pendapatnya jika mereka merasa dirinya minoritas,” ujarnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: