- Home
- /
- Kabar Finansial
- /
- Bursa
Nasib 6 Perusahaan Properti IDX80 Ngeri-Ngeri Sedap: Laba Amblas dan Merugi
Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali melakukan evaluasi terhadap daftar emiten Indeks IDX80, yakni 80 emiten yang memiliki likuiditas tinggi di antara yang lainnya. Kedelapan puluh emiten tersebut akan menempati IDX80 untuk periode Agustus 2020 hingga Januari 2021.
Ada enam emiten properti yang masuk ke dalam IDX80, yakni PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), dan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA). Baca Juga: Hadapi Perkara PKPU, Sentul City: Kami Pilih Jalan Kekeluargaan
Agung Podomoro Land menjadi anggota baru yang masuk dalam daftar IDX80. Sementara itu, ada dua emiten properti yang harus keluar dari keanggotaan IDX80, yakni PT Sentul City Tbk (BKSL) dan PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR). Baca Juga: Nasib Dua Perusahaan Milik Keluarga Bakrie: Keuntungan Lenyap, Kerugian Menjerat
Mengingat bahwa adanya Covid-19 pada tahun 2020 menjadi tantangan bagi hampir semua sektor, termasuk properti. Semester I 2020, tak sedikit emiten properti yang harus mencatatkan rapor merah karena bisnisnya tertekan. Lantas, bagaimana performa keuangan dari masing-masing emiten properti IDX80 pada kuartal III 2020? Simak rangkuman berikut ini.
1. Agung podomoro Land
Realisasi kinerja PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) dalam sembilan bulan pertama tahun 2020 jauh menurun dari tahun 2019 lalu. Bagaimana tidak, laba bersih Agung Podomoro Land sebesar Rp81,05 miliar pada September 2019 berubah menjadi rugi bersih sebesar Rp430,25 miliar pada September 2020. Baca Juga: Saham Emiten Properti Mengamuk, Kenaikannya Sampai Puluhan Persen!
Merujuk ke laporan keuangan perusahaan, Agung Podomoro Land membukukan penjualan dan pendapatan usaha sebesar Rp2,89 triliun pada Q3 2020. Capaian tersebut menurun tipis 1,02% dari realisasi pendapatan Q3 2019 lalu yang tercatat sebesar Rp2,92 triliun. Berbanding terbalik, beban pokok penjualan dan pendapatan usaha justru membengkak dari Rp1,47 triliun pada tahun lalu menjadi Rp1,62 triliun pada tahun lalu.
Jika dibedah, bisnis penjualan yang meliputi apartemen, tanah, kios, rumah, tinggal, rumah kantor, rumah toko, dan perkantoran memberikan sumbangsih sebesar Rp2,11 triliun kepada APLN pada tahun ini. Nilai ini naik dari tahun sebelumnya yang hanya Rp1,94 triliun. Namun, pendapatan yang bersumber dari sewa, hotel, dan lainnya, memberikan kontribusi yang lebih rendah, yakni dari Rp986,92 miliar pada tahun lalu menjadi Rp776,58 miliar pada tahun ini.
Faktor yang akhirnya membuat emiten bersandi APLN ini merugi di saat pendapatan menurun tipis adalah kerugian selisih kurs sebesar Rp414,23 miliar pada sembilan bulan pertama tahun 2020. Padahal, tahun sebelumnya APLN mengantongi keuntungan selisih kurs sebesar Rp81,75 miliar.
2. Bumi Serpong Damai
Kinerja PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) masih tertekan dalam sembilan bulan pertama tahun 2020. Hal itu tercermin dari capaian laba bersih BSDE yang anjlok hingga 79,86% dari 2,31 triliun pada kuartal III 2019 menjadi Rp469,56 miliar pada kuartal III 2020.
Laba bersih yang menurun signifikan itu disebabkan oleh pendapatan BSDE yang juga tertekan. Merujuk ke laporan keuangan perusahan, BSDE membukukan pendapatan sebesar Rp4,28 triliun atau 18,16% lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp5,23 triliun. Baca Juga: 5 Peristiwa Penting Meikarta Sepanjang Tahun 2020 Hingga Akhirnya Ditetapkan PKPU
Pada periode yang sama, BSDE berhasil menekan beban keuangan sehingga nilainya menurun dari Rp1,89 triliun per September 2019 menjadi Rp1,69 triliun per September 2020. Meskipun begitu, kinerja keuangan, khususnya laba mengalami koreksi tajam, disebabkan oleh pencatatan beban bunga-diskonto penjualan sebesar Rp360,62 miliar, di mana tahun sebelumnya pos tersebut nihil.
Liabilitas BSDE tercatat sebesar Rp26,61 triliun atau naik dari Rp20,89 triliun pada akhir 2019. Liabilitas jangka panjang sebesar Rp14,9 triliun dan liabilitas jangka pendek sejumlah Rp11,71 triliun. Ekuitas perseroan naik menjadi Rp34,28 triliun per September 2020 dari Rp22,55 triliun pada akhir 2019. Total aset BSD meningkat menjadi Rp60,89 triliun dari sebelumnya Rp54,44 triliun.
3. Pakuwon Jati
Emiten properti milik Alexander Tedja, yakni PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) membukukan laba bersih sebesar Rp600,69 miliar pada kuartal ketiga tahun 2020. Jika dibandingkan dengan kuartal ketiga tahun 2019, capaian tersebut menyusut 72,06% dari laba bersih kala itu yang mencapai Rp2,15 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan, pendapatan Pakuwon Jati terpangkas hingga 41,79%, yakni dari Rp5,24 triliun pada September 2019 menjadi hanya Rp3,05 triliun pada September 2020.
Sebagian sumber pendapatan Pakuwon Jati memberikan kontribusi yang lebih rendah kepada perusahaan pemilik Mal Gandaria City dan Kota Kasablanka ini. Secara tahun ke tahun (yoy), pendapatan Pakuwon Jati dari sewa dan jasa pemeliharaan turun 31,86% menjadi Rp1,24 triliun pada Q3 2020.
Begitu pun dengan pendapatan dari penjualan kondominium dan kantor turun 59,6% menjadi Rp883,29 miliar; pendapatan hotel turun 59,82% menjadi Rp144,69 miliar; dan pendapatan usaha lainnya turun 36,50% menjadi Rp343,56 miliar. Untungnya, pendapatan hasil penjualan tanah dan bangunan mengalami kenaikan 35,31% menjadi Rp434,27 miliar.
Pakuwon Jati tercatat membukukan aset sebesar Rp26,05 triliun pada September tahun ini, sedikit lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai Rp26,09 triliun.
4. Puradelta Lestari (-60,16%)
Senasib sepenanggungan dengan emiten properti lainnya, laba bersih PT Puradela Lestari Tbk (Deltamas) juga terkontraksi pada kuartal ketiga tahun ini. Keuntungan Deltamas susut sedalam 60,16% dari Rp759,10 miliar pada kuartal III 2019 menjadi Rp302,45 miliar pada kuartal III 2020.
Data laporan keuangan perusahaan menunjukkan, pendapatan Deltamas amblas 48,42% dari Rp1,27 triliun pada September tahun lalu menjadi Rp654,99 miliar pada September tahun ini. Pendapatan terbesar disumbang oleh segmen industri dengan porsi 82,1% dari total pendapatan Deltamas atau setara dengan Rp538 miliar.
Kontributor berikutnya adalah segmen komersial dengan porsi 9,9% dari total pendapatan atau setara dengan Rp65 miliar.
Segmen hunian menyumbang 5,5% pendapatan Deltamas atau mencapai Rp36 miliar. Sementara itu, segmen hotel dan rental berkontribusi sebesar Rp9,8 miliar atau setara dengan Rp6,6 miliar.
Perusahaan pengembang kawasan industri yang dimiliki oleh konglomerasi Sinar Mas Group ini mengaku, segmen industri masih menjadi tulang punggung bagi bisnis Deltamas. Direktur Deltamas, Tondy Suwanto, mengungkapkan bahwa selain tingginya pencatatan pendapatan pada kuartal III 2019, rendahnya pendapatan perusahaan pada kuartal ini juga dipengaruhi oleh masih adanya backlog penjualan yang cukup besar dan belum dicatatkan sebagai pendapatan kuartal III 2020.
"Di tahun 2019, terdapat pencatatan pendapatan atas penjualan lahan komersial yang menyebabkan tingginya pendapatan usaha pada periode tersebut. Kemudian, di sisa kuartal empat sendiri masih terdapat sejumlah backlog penjualan yang cukup besar yang diharapkan akan dapat dibukukan sebagai pendapatan usaha," ungkapnya pada Selasa, 27 Oktober 2020.
Perlu diketahui, sampai dengan September 2020, Deltamas mengantongi marketing sales sebesar Rp1,38 triliun. Angka tersebut 69% dari target yang ditetapkan perusahaan sepanjang tahun 2020.
Penjualan lahan industri menjadi kontributor terbesar atas capaian marketing sales tersebut, di mana pada kuartal III 2020, pengembang kawasan Deltamas ini menjual lahan industri seluas 17,1 hektare. Angka tersebut jika dikalkulasikan selama sembilan bulan terakhir mencapai 67,7 hektare.
5. Summarecon Agung
Sampai dengan berita ini dimuat, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) belum merilis laporan keuangan kuartal III 2020. Laporan terakhir menunjukkan bahwa Summarecon Agung membukukan laba bersih sebesar Rp10,2 miliar pada semester I 2020. Capaian menurun drastis hingga 93,15% dari semester I 2019 yang kala itu tercatat sebesar Rp149,02 miliar.
Ambrolnya laba tersebut terimbas dari pendapatan SMRA yang kontraksi sedalam 18,35% dari Rp2,67 triliun pada Juni 2019 menjadi hanya Rp2,18 triliun pada Juni 2020.
6. Ciputra Development
PT Ciputra Development Tbk (CTRA) juga belum merilisi laporan keuangan untuk periode Q3 2020. Per Juni 2020, laba CTRA tercatat sebesar Rp169 miliar, menurun 42,82% dari Juni 2019 lalu yang mencapai Rp296 miliar.
Hal itu tidak terlepas dari penurunan pendapatan CTRA selama enam bulan pertama tahun ini sebesar 10,84% dari Rp3,15 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp2,80 triliun pada tahun 2020.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lestari Ningsih
Editor: Lestari Ningsih