Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Dr Tin Herawati: Jika Tak Dicegah, Pandemi Covid-19 Bisa Tingkatkan Kasus Stunting

        Dr Tin Herawati: Jika Tak Dicegah, Pandemi Covid-19 Bisa Tingkatkan Kasus Stunting Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
        Warta Ekonomi, Bogor -

        Dr Tin Herawati, dosen IPB University sekaligus Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) menyebutkan bahwa penguatan fungsi keluarga menjadi hal yang sangat penting terutama pada keluarga pada masa periode 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK) dalam upaya pencegahan stunting.

        Kejadian stunting pada umumnya terjadi karena asupan gizi yang tidak memadai dan serangan infeksi yang terjadi pada masa 1.000 HPK.

        Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama sehingga anak lebih pendek atau perawakan pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam perkembangan kognitif.

        Baca Juga: Banyak Miskonsepsi tentang Vaksin, Masyarakat Harus Tanya ke Ahli

        Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak Baduta (Bayi di bawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas.

        Stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, menurunkan produktivitas pasar kerja, mengurangi pendapatan pekerja dewasa dan menyebabkan kemiskinan antar-generasi.

        Dr Tin menambahkan bahwa Riset Kesehatan Dasar (Riskesda, 2018) menunjukkan prevalensi stunting sebesar 30,8 persen dan hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019 mengalami penurunan menjadi 27,7 persen.

        Hal ini berarti dalam satu tahun bisa menekan penurunan angka stunting 3,1 persen. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah mampu mencapai target prevalensi stunting pada 2024 menjadi 24 persen.

        "Untuk mencapai target tersebut, tentunya perlu upaya dari berbagai pihak untuk ikut mencegah stunting.  Di sisi lain, pada masa pandemi COVID-19, rawan terjadi masalah gizi termasuk stunting. Berbagai hasil kajian di masa pandemi menunjukkan makanan yang dikonsumsi menjadi lebih sedikit dan kualitas makanan menjadi lebih buruk sebagai akibat dari ketahanan ekonomi keluarga yang menurun. Kondisi tersebut menunjukkan isu kerawanan pangan muncul di masa pandemi akan berimplikasi pada buruknya asupan gizi yang memberi peluang terjadinya masalah gizi, termasuk stunting," ujarnya.

        Kondisi ini akan semakin mengkhawatirkan jika asupan gizi yang buruk terjadi pada masa 1.000 HPK, yaitu masa 270 hari atau sembilan bulan dalam kandungan ditambah 730 hari atau sampai anak berusia dua tahun.

        Isu lain yang muncul di masa pandemi adalah keharmonisan keluarga. Hasil kajian selama pandemi, ditemukan tindakan kekerasan dan perselisihan antara suami isteri. Hal ini berpeluang pada perceraian. Menurut Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, kasus perceraian terus meningkat setiap tahun dan pola yang sama juga terjadi pada masa pandemi COVID-19.

        Penyebab perceraian terbanyak adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta masalah ekonomi. Kasus perceraian banyak terjadi pada usia perkawinan di bawah lima tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar perceraian terjadi pada usia perkawinan masih muda, yang memiliki peluang usai anaknya masih di bawah lima tahun mungkin juga di bawah dua tahun.

        Hubungan pernikahan yang tidak harmonis dan berujung pada perceraian berpengaruh terhadap kebahagiaan yang dirasakan oleh keluarga. Ketidakbahagiaan yang dirasakan akibat dari perceraian orang tuanya dapat menimbulkan permasalahan psikologis yang menganggu tumbuh kembang anak.

        Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya anak-anak yang berasal dari keluarga yang mengalami perceraian biasanya memiliki kesejahteraan yang lebih rendah dibandingkan keluarga yang harmonis. Hal ini sangat terkait dengan rendahnya kualitas pengasuhan.

        Lebih lanjut Tin menyampaikan adanya pertengkaran, perselisihan yang terus menerus, dan masalah ekonomi sehingga berujung perceraian, menunjukkan pelaksanaan fungsi keluarga yang tidak berjalan dengan baik.

        "Ketidakberfungsian fungsi keluarga menyebabkan ketidakstabilan dalam kehidupan keluarga yang berpengaruh pada rendahnya kualitas pengasuhan dan berujung pada perceraian. Sebaliknya keluarga yang berfungsi dengan baik dapat mengelola sumber daya keluarga sehingga dapat memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga dan memudahkan dalam mencapai tujuan," imbuhnya.

        Baca Juga: Pembuatan Vaksin Covid-19 Dipercepat, Komnas KIPI Sebut Tetap Aman

        Sebagai penghasil sumber daya manusia, keluarga harus menjalankan fungsinya dengan baik agar dapat melaksanakan pengasuhan dengan baik untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Fungsi keluarga yang berperan dengan baik akan memberikan perlindungan dari stresor dan perubahan yang terjadi dan cara yang positif dalam melaksankan fungsi keluarga dapat membantu keluarga dalam penyesuaian  selama krisis.

        "Oleh karena itu penguatan fungsi keluarga menjadi hal yang sangat penting terutama pada keluarga pada masa periode 1.000 HPK dalam upaya pencegahan stunting," ucapnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: