Selama ini, bagi sejumlah LSM dan negara antisawit, industri perkebunan kelapa sawit dituding pro-konglomerasi, bukan petani. Isu ini sengaja dihembuskan untuk menjatuhkan citra kelapa sawit tidak hanya di mata global, tetapi juga domestik. Faktanya, sekitar 41 persen atau 6,72 juta hektare perkebunan kelapa sawit nasional dikuasai oleh rakyat.
Wakil Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengatakan, "di hari sawit tahun ini, DMSI harus memperbaiki image sawit di mata publik. Selama ini, kelapa sawit diidentikkan bisnis konglomerat. Padahal tidak benar. Industri ini melibatkan petani di dalamnya."
Lebih lanjut Sahat menjelaskan, selama delapan tahun terakhir, kelapa sawit telah menjadi penopang ekspor nasional selain batu bara. Tidak hanya itu, industri sawit juga mampu menyerap tenaga kerja, menjadi penyumbang devisa, dan mampu memenuhi kebutuhan minyak nabati nasional dan global.
Baca Juga: Di Masa Corona, Industri Sawit Penyelamat Devisa
"Setiap tahun, pertumbuhan minyak nabati naik 3,4 persen atau sekitar 7,4 juta ton. Jumlah kebutuhan sebesar 7,4 juta ton ini tidak dapat diabaikan. Sawit dapat berperan penuhi kebutuhan ini. Kalau mengandalkan rapeseed dan soya, maka butuh berapa luas lahan?" ungkap Sahat seperti dilansir dari SawitIndonesia.comi (2/12/2020).
Sebagai tanaman paling produktif yang tumbuh di 16 negara, diakui Sahat, persoalan kelapa sawit yakni terkait dengan citranya. Menurut Sahat, DMSI bertugas menyebarkan informasi positif sawit kepada publik. Terutama tuduhan bahwa sawit bagian dari usaha konglomerat. Isu ini sengaja dihembuskan dunia internasional.
"Jumlah petani sangat banyak, yang harus diperjuangkan bagaimana komposisi petani ditingkatkan," ujarnya.
Saat ini, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) tengah membuat role model Pengembangan Teknologi Produksi Minyak Nabati Industrial Vegetable Oil (IVO) dan biohidrokarbon bensin sawit di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Pelalawan.
Asumsinya, dengan perhitungan harga CPO sebesar Rp6.500 per kg, setelah diolah menjadi bensin sawit, harganya dapat mencapai Rp8.100 per liter. Melalui pengembangan program ini, petani telah berkontribusi besar dan menjadi bagian dari pencapaian bauran energi terbarukan 23% dari bahan bakar nabati.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: