Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sempat Serang Bansos Anies Baswedan, Juliari Kini Tersangka Korupsi

        Sempat Serang Bansos Anies Baswedan, Juliari Kini Tersangka Korupsi Kredit Foto: Antara/Galih Pradipta
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar KPK pada Sabtu (5/12) di beberapa tempat di Jakarta berujung pada pengumuman status tersangka Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara pada Minggu (6/12) dini hari WIB oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Total ada lima tersangka dalam perkara dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) pandemi Covid-19 ini.

        Perkara ini terbilang ironis bagi Juliari sebagai pimpinan tertinggi kementerian yang bertanggung jawab terhadap penyaluran bansos Covid-19. Jika merujuk pada riwayat penyaluran bansos selama pandemi, Juliari bahkan sempat mengkritik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada awal Mei lalu.

        Baca Juga: Anies Trending di Twitter, Netizen Menjawab: Maju Gubernurnya Sedih Haters-nya!

        Kisruh penanganan bansos antara pemerintah pusat dan DKI terungkap saat Juliari menyatakan bahwa penyaluran bansos oleh Pemprov DKI Jakarta tidak sesuai dengan kesepakatan awal antara pemerintah pusat dengan Pemprov DKI Jakarta. Juliari menyebut, ada kekacauan di lapangan setelah kementeriannya menemukan ada warga penerima bansos dari Kemensos sama dengan penerima bansos dari Pemprov DKI Jakarta.

        "Saat Ratas terdahulu, kesepakatan awalnya tidak demikian. Gubernur DKI meminta bantuan pemerintah pusat untuk meng-cover bantuan yang tidak bisa di-cover oleh DKI," kata Juliari dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII, Mei lalu.

        Juliari saat itu mengatakan, Pemprov DKI Jakarta menggunakan data yang sama dengan Kemensos soal penerima bansos sembako dampak Covid-19. Setelah kekacauan penerimaan bansos tahap awal, tahap berikutnya, disepakati untuk memasukkan usulan RT-RW.

        "Jadi, untuk penyaluran bansos sembako tahap 1 dan 2 masih menggunakan data sebelumnya, tapi untuk tahap selanjutnya akan menggunakan data baru ditambah dengan usulan dari RT dan RW agar bansos sembako lebih terasa lagi," kata Juliari.

        Anies Baswedan saat itu merespons bahwa inisiatif bansos sudah tercetus sebelum Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) digulirkan pemerintah pusat. Di sisi lain, pemerintah pusat baru mendistribusikan bansos pada 20 April 2020 kepada warga miskin dan rentan miskin yang terdampak Covid-19.

        "Kami sudah menerapkan pembatasan itu sebelumnya dan rakyat akan kesulitan pangan jika belum ada bansos pangan sejak PSBB diberlakukan sehingga kami Pemprov DKI Jakarta telah membagikan bansos terlebih dulu untuk mengisi kekosongan itu," kata Anies dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (7/5).

        Kini, beberapa bulan setelah kisruh antara pemerintah pusat dan DKI soal pembagian bansos sembako Covid-19, Juliari ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, KPK menduga Juliari menerima suap senilai Rp17 miliar dari fee pengadaan bansos sembako untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Jabodetabek.

        "Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS (Matheus Joko Santoso) kepada JPB (Juliari Peter Batubara) melalui AW (Adi Wahyono) dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar," kata kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung KPK pada Minggu (6/12) dini hari.

        Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari. Uang tujuannya digunakan untuk membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.

        "Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB," tambah Firli. Dengan begitu, total suap yang diduga diterima Juliari adalah senilai Rp17 miliar.

        Dalam OTT pada Sabtu (5/12), petugas KPK mengamankan uang dengan jumlah sekitar Rp14,5 miliar dalam berbagai pecahan mata uang, yaitu sekitar Rp11, 9 miliar, sekitar 171,085 dolar AS (setara Rp2,420 miliar) dan sekitar 23.000 dolar Singapura (setara Rp243 juta). Selain Juliari, KPK menetapkan empat tersangka lain sebagai penerima suap, yaitu Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Sementara, tersangka pemberi suap adalah Ardian IM dan Harry Sidabuke.

        Perkara ini, menurut Firli, diawali adanya pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020. Nilai total bansos sembako itu mencapai Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak pengadaan dan dilaksanakan dengan dua periode.

        "JPB (Juliari P Batubara) selaku Menteri Sosial menunjuk MJS (Matheus Joko Santoso) dan AW (Adi Wahyono) sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan," ungkap Firli.

        Diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS. "Untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket bansos," tambah Firli.

        Selanjutnya, Matheus dan Adi pada Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian IM, Harry Sidabuke, dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.

        "Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW," ungkap Firli.

        Program bansos sembako di Jabodetabek adalah salah satu dari enam program perlindungan sosial di Kemensos yang diselenggarakan pemerintah untuk mengatasi pandemi Covid-19. Total anggaran untuk bansos sembako Jabodetabek adalah senilai Rp6,84 triliun dan telah terealisasi Rp5,65 triliun (82,59 persen) berdasarkan data 4 November 2020.

        Ancaman hukuman mati

        Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan, Menteri Sosial Juliari Batubara bisa diancam dengan pidana hukuman mati. Ancaman hukuman mati bisa diberikan kepada Juliari jika terbukti melanggar Pasal 2 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

        "Ya, kita paham bahwa di dalam ketentuan UU Nomor 31 tahun 1999 pasal 2, yaitu barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain, melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara di ayat 2 memang ada ancaman hukuman mati," ujar Firli di Gedung KPK, Minggu (6/12) dini hari.

        Baca Juga: Pakai Rompi Tahanan, Juliari Batubara Mengundurkan Diri sebagai Mensos

        Selama masa pandemi Covid-19, kata Firli, pihaknya juga terus mengimbau bahkan mengancam agar semua pihak agar tidak menyalahgunakan bantuan sosial (bansos) sebab ancaman hukumannya adalah mati. Terlebih, sambung Firli, pemerintah juga telah menetapkan pandemi Covid-19 ini sebagai bencana nonalam.

        "Kita paham juga bahwa pandemi Covid-19 ini dinyatakan oleh pemerintah bahwa ini adalah bencana nonalam sehingga tentu kita tidak berhenti sampai di sini, apa yang kita lakukan, kita masih akan terus bekerja terkait dengan bagaimana mekanisme pengadaan barang jasa untuk bantuan sosial di dalam pandemi Covid-19," tegas Firli.

        "Tentu nanti kami akan bekerja berdasarkan keterangan saksi dan bukti apakah bisa masuk ke dalam Pasal 2 UU 31 Tahun 1999 ini. Saya kira memang kami masih harus bekerja keras untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana yang merugikan keuangan negara sebagai mana yang dimaksud Pasal 2 itu. Malam ini yang kami lakukan tangkap tangan adalah berupa penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara, jadi itu dulu," tambah Firli.

        Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 berbunyi,

        (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

        (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

        Respons PDIP

        Sektetaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa PDI Perjuangan mendukung sepenuhnya berbagai langkah pemberantasan korupsi. Termasuk, dalam bentuk OTT yang secara simultan dilakukan oleh KPK.

        "Partai menghormati seluruh proses hukum yang sedang berlangsung. Hukum adalah jalan peradaban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Siapa pun wajib bekerja sama dengan upaya yang dilakukan oleh KPK tersebut," kata Hasto dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Minggu (6/12).

        Hasto juga merespons sejumlah kasus korupsi yang baru-baru ini menimpa kader partainya. Hasto menegaskan, PDI Perjuangan secara terus-menerus mengingatkan para kadernya untuk selalu menjaga integritas dan tidak mengalahgunakan kekuasaan, apalagi melakukan korupsi.

        "Kalau sudah menyangkut hal tersebut, Ketua Umum PDI Perjuangan, Ibu Megawati selalu memberikan arahan kepada kadernya yang punya jabatan politik untuk tidak melakukan penyalahgunaan kekuasan, tidak korupsi. Tertib hukum adalah wajib bagi wajah pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi," ucapnya.

        Anggota Komisi VIII DPR Bukhori Yusuf mengatakan, sebagai mitra kerja, Komisi VIII DPR kerap mengingatkan mensos untuk berhati-hati dalam pengelolaan dana bansos.

        "Kita kan juga kritis dalam memberikan pencermatan terutama berbagai macam potensi-potensi penyimpangan di tingkat lapangan ya, sering kali juga kita ingatkan danĀ  sudah kita sampaikan," kata Bukhori kepada Republika, Minggu (6/12).

        Bukhori menambahkan, bahkan Komisi VIII DPR juga sering mengingatkan mensos soal kualitas bantuan sembako yang disampaikan ke masyarakat. Namun, dirinya tidak tahu kenapa peristiwa tersebut masih saja terjadi meskipun sudah kerap diingatkan.

        "Saya pikir ini memang suatu penyakit lama di hampir seluruh birokrasi yang menjadi borok lama yang harusnya mestinya komitmen Presiden Jokowi sebagai presiden yang komitmen untuk pemberantasan korupsi harusnya terjadi perubahan, tetapi secara faktanya itu belum bisa memberikan angin segar tentang perubahan-perubahan signifikan karena ini persoalan mentalitas. Saya kira itu," ungkapnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: