Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Junta Myanmar Bisa Dapat Mimpi Buruk, Ancaman Biden: Kami Bisa Blokir Sang Jenderal...

        Junta Myanmar Bisa Dapat Mimpi Buruk, Ancaman Biden: Kami Bisa Blokir Sang Jenderal... Kredit Foto: CNN
        Warta Ekonomi, Washington -

        Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, mengumumkan langkah baru untuk menekan para pemimpin militer Myanmar untuk melepaskan kekuasaan dan memulihkan demokrasi di negara itu.

        Biden mengatakan, ia telah menyetujui perintah eksekutif yang akan membuka jalan pemberian sanksi terhadap para pemimpin militer Myanmar yang mengarahkan kudeta, bersama dengan anggota keluarga dekat mereka dan kepentingan bisnis terafiliasi.

        Baca Juga: Junta Thailand Disurati Militer Myanmar, Minta Bantuan Gulingkan...

        "Kami akan mengidentifikasi target putaran pertama minggu ini," ujar Biden dalam sambutan singkat tentang Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma.

        "Dan kami juga akan memberlakukan kontrol ekspor yang kuat. Kami membekukan aset AS yang menguntungkan pemerintah Burma, sambil mempertahankan dukungan kami untuk perawatan kesehatan, kelompok masyarakat sipil, dan bidang lain yang secara langsung menguntungkan rakyat Burma," imbuhnya seperti dikutip dari ABC News, Kamis (11/2/2021).

        Selain itu, Biden juga mengatakan pemerintahannya akan memblokir jenderal militer Myanmar untuk mengakses dana pemerintah senilai USD1 miliar yang disimpan di AS. Biden juga mengatakan.

        Dalam kesempatan itu, Biden juga meminta militer Myanmar untuk melepaskan kekuasaan dan segera membebaskan para pemimpin dan aktivis pro demokrasi. Ia secara khusus menyerukan pembebasan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi serta presiden Win Myint.

        "Ketika protes tumbuh, AS akan terus menyerukan hentikan kekerasan terhadap mereka yang menutut hak demokratis mereka," ucap Biden.

        "Dunia sedang menonton. Kami akan siap untuk memberlakukan tindakan tambahan dan kami akan terus bekerja dengan mitra internasional kami untuk mendesak negara lain bergabung dengan kami dalam upaya ini," sambungnya.

        Terkait sanksi ini, dikutip dari USA Today, kepala juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan ia tidak dapat menjelaskan lebih lanjut tentang pembekuan aset atau sanksi. Ia mengatakan pemerintahan Biden akan segera merinci langkah-langkah kebijakan lainnya.

        Militer Myanmar merebut kendali pemerintah pada 1 Februari lalu dan menahan pemimpin sipil negara itu, Aung San Suu Kyi, bersama dengan Presiden Myanmar U Win Myint dan lainnya.

        Kudeta terjadi setelah partai Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi menang telak dalam pemilihan umum (pemilu) pada bulan November lalu.

        Partai oposisi utama, Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan yang didukung militer, mengklaim pemilu itu dirusak oleh penipuan. Namun komisi pemilihan umum Myanmar menolak tuduhan tersebut, tetapi ketegangan antara kedua belah pihak telah meningkat selama berminggu-minggu.

        Aksi demonstrasi menentang kudeta militer pun terjadi dalam beberapa hari terakhir. Termasuk oleh pegawai negeri yang telah mempertaruhkan pekerjaan mereka untuk melakukan aksi protes, bahkan beberapa anggota polisi telah beralih menentang kudeta tersebut.

        Dalam video dramatis yang direkam pada Rabu di sebuah desa di Negara Bagian Kayah di Myanmar timur, 42 polisi menyatakan kesetiaan kepada pemerintah terpilih yang digulingkan dan menolak permohonan seorang perwira senior untuk kembali bertugas. Penduduk lokal berbondong-bondong menemui mereka untuk menggagalkan penangkapan mereka.

        Di Naypyitaw dan Mandalay pada hari Selasa, polisi menyemprotkan meriam air dan melepaskan tembakan peringatan ke pengunjuk rasa. Di Naypyitaw, mereka menembakkan peluru karet dan tampaknya peluru tajam, melukai seorang pengunjuk rasa wanita, menurut saksi mata dan rekaman di media sosial. Laporan tersebut tidak dapat dikonfirmasi secara independen.

        Human Rights Watch mengutip seorang dokter di rumah sakit Naypyitaw yang mengatakan wanita itu dalam kondisi kritis. Dokter mengatakan wanita itu memiliki proyektil yang bersarang di kepalanya, diyakini sebagai peluru yang menembus bagian belakang telinga kanan, dan telah kehilangan fungsi otak yang signifikan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: