Sejumlah pengamat politik yakin, tidak ada keterlibatan Istana dalam kisruh Partai Demokrat. Salah satunya, Pengamat politik Abi Rekso Panggalih.
Abi menilai, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berusaha membangun narasi adanya keterlibatan pemerintah dalam dinamika internal Demokrat dengan mencantumkan jabatan Kepala Staf Presiden Moeldoko, saat menggelar konferensi pers.
Baca Juga: Merinding.... 'Semoga SBY dan AHY Selalu dalam Lindungan Allah'
Padahal, dia menilai, internal partai berlambang bintang mercy itu sendiri memang sudah tidak mumpuni karena sejumlah kadernya punya citra buruk.
“Jadi kalau Pak SBY mengkait-kaitkan dinamika internal Partai Demokrat dengan Pak Jokowi ibarat orang mabuk dalam bus kota. Meluapkan ketidakstabilan mental, dan mencari kambing hitam. Padahal citra buruk dan delegitimasi internal sudah terjadi berlarut. Dan sekarang adalah puncaknya, KLB," ujarnya, Kamis (11/3).
Pakar politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun juga meyakini hal serupa. Dia membaca pernyataan pemerintah yang akan menggunakan UU Partai Politik dan AD/ART Partai Demokrat hasil Kongres ke-5 tahun 2020 untuk menilai hasil KLB ilegal, sebagai isyarat kuat bahwa pemerintah tidak tertarik untuk melakukan manuver politik yang berisiko tinggi.
Pernyataan pemerintah tersebut disampaikan secara konsisten oleh Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkumham Yasonna Laoly dalam kesempatan terpisah. "Terlalu berisiko pada saat krisis seperti ini. Potensi gejolak politiknya terlalu besar," tuturnya.
Sementara pegiat media sosial, Ninoy Karundeng meminta internal Demokrat tidak memberikan pernyataan yang membentuk opini publik bahwa Istana terlibat. Dia menyebut, konflik ini murni persoalan internal yang dipicu oleh kepemimpinan partai model dinasti.
Tudingan kepada Istana, dianggap Ninoy, merupakan cara untuk menutupi kondisi Demokrat yang dirancang seperti partai keluarga. Perubahan komunikasi publik dan media sosial terjadi usai KLB Deli Serdang terjadi.
Strategi komunikasi lanjutan ini, disebutnya menjurus pada menebar fitnah, ketakutan, ancaman terhadap pemerintahan Jokowi secara keseluruhan. Di satu sisi, SBY sendiri membuat pernyataan yang justru menyatakan sebaliknya; Presiden Jokowi, BIN, Kapolri, Kemenkumham, Menko Polhukam, tidak terlibat dalam konflik Demokrat.
Tapi, di sisi lain, Benny Harman mengarahkan opini publik dengan menyerang keterlibatan Polri dan Istana. Lewat Twitter, Benny menyebut adanya intimidasi kepada pengurus Demokrat di daerah untuk mengakui hasil KLB, yang diduga dilakukan intelijen kepolisian.
"Yang dilakukan oleh Benny K Harman adalah bagian dari strategi komunikasi medsos untuk menciptakan opini seolah Polri ikut terlibat dalam konflik internal Demokrat," ujar Ninoy.
Dia menduga, strategi ini dilakukan untuk mempengaruhi Menkumham Yasonna Laoly agar menolak Demokrat hasil KLB.
"Dengan cara itu SBY berharap Yasonna tertekan secara psikologis, lewat opini publik yang terbangun. Maka Yasonna akan membuktikan diri netral dengan cara menolak Demokrat Moeldoko. Grand strategi yang mudah dipahami," tandasnya.
Sementara Pengamat politik AS Hikam yakin, Presiden Jokowi memiliki sense of crisis atau kepekaan terhadap krisis. Jokowi diyakini tidak akan membiarkan kisruh Demokrat berlarut-larut. "Saya yakin Pak Jokowi orang yang sangat peka terhadap krisis-krisis di negara ini," ujarnya di Mata Najwa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq