Diskursus mengenai urgensi Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) sudah tiga periode kepemimpinan MPR namun belum ada realisasinya. Perdebatannya masih seputar payung hukum PPHN, apakah melalui amandemen UUD ataukah cukup dengan undang-undang.
"MPR periode 2014-2019 hanya berkutat pada pengkajian tentang perlu tidaknya PPHN dan payung hukum yang digunakan sehingga MPR periode 2014 - 2019 kembali membuat ketetapan lagi berisi rekomendasi tentang PPHN untuk ditindaklanjuti oleh MPR periode sekarang (2019-2024) di bawah kepemimpinan Bambang Soesatyo," papar Hidayat Nur Wahid dalam diskusi Press Gathering Pimpinan MPR dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), Sabtu sore (26/3/2021), di Hotel Mambruk, Anyer, Banten. Baca Juga: Gus Jazil: Amandemen UUD Masih Jadi Perdebatan
Diskusi dengan tema: ‘Urgensi Dibentuknya Pokok Pokok Haluan Negara’ ini menampilkan empat orang narasumber. Selain Hidayat Nur Wahid, narasumber lainnya adalah Dr. Jazilul Fawaid, Ketua Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari, dan Ketua Fraksi Demokrat Benny K. Harman. Dan, diskusi ini dipandu oleh Friederich Batari. Baca Juga: KLB Demokrat Moeldoko Cs Dinilai Langgar Undang-Undang, Simak Nih Penjelasannya...
Hidayat Nur Wahid yang juga terlibat dalam ketiga periode kepemimpinan MPR menceritakan perjalanan rekomendasi MPR tentang PPHN. Diawali MPR periode 2009-2014 di bawah kepemimpinan Taufik Kiemas (alm) yang kemudian dilanjutkan oleh Sidarto Danusubroto. MPR periode inilah yang membuat ketetapan MPR berisi rekomendasi tetang PPHN. Rekomendasi ini diserahkan kepada MPR periode berikutnya (2014-2019) dibawah kepemimpinan Dr (HC) Zulkifli Hasan untuk ditindaklanjuti.
Namun, kata Hidayat, MPR periode 2014-2019 hanya berkutat pada pengkajian tentang perlu tidaknya PPHN dan payung hukum yang digunakan. "Sebab, MPR yang sekarang tidak seperti MPR sebelum amandemen UUD 1945 yang memang punya kewenangan membuat GBHN, yang sekarang disebut PPHN, sedangkan MPR sekarang bukan lagi lembaga tertinggi negara, tapi hanya lembaga negara yang setingkat dengan lembaga negara lainnya," jelasnya.
Namun, sampai MPR periode ini (2014-2019) berakhir PPHN belum juga terealisasi sehingga MPR periode ini kembali membuat ketetapan lagi berisi rekomendasi tentang PPHN untuk ditindaklanjuti oleh MPR periode sekarang (2019-2024) di bawah kepemimpinan Bambang Soesatyo. Dan, begitu pimpinan MPR dilantik langsung gencar melakukan serap aspirasi ke berbagai kalangan, dan secara massif melakukan kajian tentang urgensi dari PPHN ini.
Hasilnya, seperti dikemukan oleh Ketua Fraksi Demokrat di MPR yang juga Pimpinan Badan Pengkajian MPR, Dr. Benny K. Harman, yang menyatakan, hampir semua fraksi sependapat bahwa PPHN penting sebagai panduan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Hanya saja, yang masih menjadi perdebatan adalah soal payung hukumnya, apakah Ketetapan MPR yang berarti harus ada amandemen UUD, atau cukup dengan undang-undang.
Kedua pilihan ini, menurut Benny K. Harman, masing-masing punya kelemahan. Kalau Undang-undamg bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi, kalau dianggap bertentangan dengan Konstitusi. Begitu pula TAP MPR, kelemahannya ada pada kedudukan TAP MPR yang berada di bawah UUD dan di atas UU. “Ini tidak dikenal dalam UUD NRI Tahun 1945, kecuali TAP MPR yang dikeluarkan pada tahun 1999 hingga 2002 yang masih eksis. Jadi, TAP MPR ini juga bukan tidak mungkin bisa diajukan ke Mahkamah Komstitusi untuk judicial review,” katanya.
Lalu bagaimana nasib dari rekomendasi tentang menghadirkan kembali Pokok Pokok Haluan Negara ini? Yang jelas masih terus dikaji oleh Badan Pengkajian MPR.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Lestari Ningsih