Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pak Jokowi, RI Harap Jangan Condong ke AS atau China Ya!

        Pak Jokowi, RI Harap Jangan Condong ke AS atau China Ya! Kredit Foto: Instagram Jokowi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ekonom senior Indef, Dradjad Hari Wibowo, menyarankan pemerintah untuk tidak miring ke China ataupun Barat. Kepentingan nasional Indonesia akan jauh lebih terjamin jika posisinya ada di tengah-tengah.

        "Jangan miring ke Barat atau Amerika Serikat, jangan juga ke China," kata Dradjad, dalam perbincangannya dengan Republika.co.id, Rabu (7/4/2021).

        Baca Juga: Disebut 'Cinta' China, Luhut Geram: Emang Kita Bodoh Apa?

        Dradjad mengatakan, dalam politik global saat ini, banyak perkembangan yang membuat konstelasi antar negara blok makin rumit dan kompleks. Ujungnya, setiap negara atau blok menempatkan kepentingan sendiri makin jauh di atas kepentingan pihak lain.

        Contohnya adalah nasionalisme vaksin yang menimbulkan benturan keras antara Uni Eropa dan Inggris. "Pemicunya adalah kegagalan AstraZeneca mencukupi pasokan vaksin Uni Eropa," kata Ketua Dewan Pakar PAN ini.

        Saking strategisnya masalah ini bagi poleksosbudhankam Uni Eropa,  kata Dradjad, Kanselir Merkel dan Presiden Macron sampai harus conference call dengan Presiden Putin untuk menjajaki vaksin Sputnik V. "Kasarnya, saking kerasnya ribut dengan teman (Inggris), dua negara terbesar di Uni Eropa (Jerman dan Perancis) harus menghubungi lawan (Rusia)," kata Dradjad.

        China sebagai negara pertama yang terkena pandemi Covid-19, menurut Dradjad, justru menikmati keuntungan politik global melalui vaksin. Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar dunia justru belum bisa berbuat banyak. Kata Dradjad, mereka masih sibuk dengan dirinya sendiri. Vaksin produksii AS masih belum banyak dibagikan ke dunia saking tingginya kasus Covid-19 di sana.

        "Konstelasi politik global yang makin rumit dan kompleks juga muncul di bidang ekonomi, pertahanan, dan keamanan," ungkap mantan petinggi BIN ini.

        Kondisi ini bisa menimbulkan keuntungan bagi Indonesia, tapi juga bisa menjadi masalah serius. Jika tidak pandai-pandai menavigasi kapal, kata Dradjad, Indonesia bisa dianggap sebagai satelit satu negara, entah AS, Barat, China, atau Rusia. Ini akan sangat merugikan kepentingan nasional.

        "Jika miring ke China, Indonesia bisa dikerjai Barat. Rugi besar. Porsi dagang kita dengan Barat tinggi. Alutsista juga banyak dari Barat," kata Dradjad.

        Namun, jika miring ke Barat, China juga bisa ngambek. Padahal, konflik Laut China Selatan itu dampaknya besar terhadap integritas wilayah NKRI. Termasuk, vaksinasi Indonesia juga salah satunya tergantung China.

        Karena itu, lanjut Dradjad, Indonesia harus tetap berada di tengah. Jangan sampai ada satu negara yang dominan terhadap berbagai bidang kepentingan Indonesia.

        Indonesia sudah bagus bisa menjamin pasokan vaksin dari Sinovac. Namun, agar Indonesia tidak miring ke China, pengembangan vaksin Merah Putih wajib dipercepat. Demikian juga dengan riset dan inovasi obat Covid-19. "Jangan undak-undik soal vaksin dan obat," ungkapnya.

        Dalam hal perdagangan juga demikian. Menurut Dradjad, peranan China makin besar, sekitar dua kali lipat Amerika Serikat ataupun Jepang. Indonesia harus segera diversifikasi ekspor dan impor.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: