Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        TMII dalam Genggaman, Negara Bakal Caplok Aset Lain Milik Keluarga Warisan Soeharto

        TMII dalam Genggaman, Negara Bakal Caplok Aset Lain Milik Keluarga Warisan Soeharto Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Perburuan aset-aset negara yang dikelola keluarga Presiden ke-2, Soeharto, ternyata tak berhenti sampai di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Di bawah komando Menteri Sekretaris Negara Pratikno, pemerintah terus mengejar aset-aset lain yang dimiliki keluarga penguasa Orde Baru itu.

        Melalui tangan dingin Pratikno, TMII telah resmi berganti pengelolaan dari Yayasan Harapan Kita (YHK) ke negara. Penandaan itu dimulai sejak plang putih terpasang rapi di TMII pada 8 April 2021 lalu. Baca Juga: Moeldoko Bicara Inovator TMII, Eh Ditampar Orangnya AHY...Pedes Bener

        “Taman Mini Indonesia Indah Dalam Penguasaan Dan Pengelolaan Kemensetneg,” begitu tulisan pada plang tersebut. 

        Setelah TMII, ada dua lagi aset negara yang masih dikuasai keluarga Cendana, yakni Gedung Granadi dan vila di kawasan Mega Mendung, Puncak, Bogor Jawa Barat. Keduanya milik Yayasan Supersemar yang didirikan oleh Soeharto. Namun harus disita negara pada 2018 karena terkait kasus hukum penyelewengan duit negara. Baca Juga: Saksi Hidup Sejarah Logo Partai Demokrat Bongkar Fakta: Dokumen Dipalsukan, SBY Itu Hanya....

        “Selanjutnya yang Gedung Granadi dan aset di Megamendung, sepanjang itu BMN (Barang Milik Negara) dikelola DJKN (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu),” kata Direktur Barang Milik Negara (BMN) DJKN Kemenkeu Encep Sudarwan dalam konferensi secara daring, Jumat (16/4/2021).

        la menuturkan, Kemenkeu merupakan pengelola barang atas aset-aset yang disita negara. Sementara pengguna barang adalah kementerian atau lembaga terkait yang mengambil alih. Seperti halnya TMII diambil alih Kemensetneg.

        “Sepanjang BMN apapun juga ada pengelolanya, jadi kalau itu sudah jadi barang milik negara, pasti dikelola untuk DJKN,” sebut dia.

        Alasan pengambilalihan ketiganya beragam. Kalau TMII karena tidak setor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Penerimaan negara kan ada dua, pajak dan non pajak. Kalau pajak mereka bayar pajak, tapi kalau PNBP memang selama ini belum ada,” lanjutnya.

        Alasan TMII tak pernah bayar PNBP dikarenakan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 51 Tahun 1977 tentang pengelolaan TMII yang dilakukan YHK belum diatur bagaimana PNBP tersebut. Dengan beralihnya pengelolaan, diharapkan aset milik negara itu dapat berkontribusi menghasilkan PNBP.

        “Jadi sekarang kita harus jelas kalau BMN digunakan, dimanfaatkan oleh pihak lain apalagi pengusaha itu harus ada kontribusi tetapnya, profit sharing-nya,” jelas Encep.

        Sementara, pengambilalihan Granadi setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melakukan penyitaan terhadap aset senilai sekitar Rp 242 miliar dari total 113 rekening milik Yayasan Supersemar. Termasuk di dalamnya vila di Mega Mendung. Nah, Yayasan Supersemar diwajibkan membayar kerugian negara sebesar Rp 4,4 triliun.

        Kata Encep, barang yang sudah disita oleh negara itu otomatis menjadi BMN dan dikelola oleh pemerintah. “Gedung Granadi dan aset di Megamendung, sepanjang itu BMN dikelola DJKN,” bebernya.

        Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Ngabalin, menyatakan prinsipnya di era kepemimpinan Jokowi semua aset negara yang dikelola pihak ketiga harus dikembalikan demi kepentingan rakyat.

        “Pengelolaannya bisa mendatangkan manfaat sebesar mungkin bagi kepentingan rakyat,” jawab Ngabalin saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.

        Namun, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didiek Junaidi Rachbini mengkritik cara negara mengambil aset milik keluarga Soeharto. Menurutnya, pengambilalihan aset tanpa melalui proses hukum, sama saja dengan merampas paksa.

        “Perampasan hak yayasan hak masyarakat yang juga punya dasar hukum,” kata Didiek kepada Rakyat Merdeka.

        Dia khawatir kejadian ini menular kepada sejumlah yayasan lain yang tidak menyetor pemasukan ke negera. “Kalau dengan alasan TMII tidak menghasilkan uang untuk negara nanti yayasan-yayasan yang tidak punya kontribusi bisa dirampas oleh negara,” sebut mantan politisi PAN itu.

        Dia mensinyalir ada pihak-pihak yang sengaja membisikkan Presiden Jokowi untuk menyapu bersih aset yang dikelola Tommy Soeharto dan keluarga. “Mungkin motifnya seolah-olah itu seperti masa revolusi, apa saja bisa diambil oleh negara,” ucapnya.

        Perampasan ini, dianggapnya, tindakan sewenang-wenang. Bertanda negara sudah bersikap represif otoriter. “Mengambil alih aset pihak lain tanpa proses hukum yang legal adalah perampasan yang ilegal,” tekan mantan anggota DPR Komisi XI itu.

        Sementara itu, Sekretaris YHK, Tria Sasangka menyatakan pihaknya tidak pernah membebani ataupun merugikan negara sebagai pengelola TMII selama 44 tahun terakhir. Menurutnya YHK malah selalu memberikan bantuan anggaran jika TMII memiliki masalah keuangan untuk pembangunan maupun perawatan TMII.

        “Ini sudah sesuai amanah dari Keppres 51 tahun 1977 sehingga dengan demikian YHK tidak pernah membebani dan merugikan keuangan negara sebagai pengelola barang milik negara,” kata Sasangka dalam keterangannya.

        Yayasan juga tidak pernah sama sekali meminta bantuan anggaran pemerintah dalam pengelolaan TMII sejak 44 tahun terakhir.

        “Dalam pelaksanaan pengelolaan TMII selama ini YHK sebagai penerima tugas negara tidak pernah mengajukan atau meminta kebutuhan anggaran dari pengelolaan TMII kepada negara atau pemerintah,” ungkap dia.

        Kebutuhan anggaran, lanjutnya, yang tidak dapat tercukupi pengelolaan, pemeliharaan dan pelestarian TMII ditanggung oleh YHK.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: