Koordinator Presidium Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) yang juga Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar, prihatin masih banyak ibu-ibu yang memberikan susu kental manis (SKM) kepada bayi dan anak-anak mereka.
Menurutnya, SKM itu tidak boleh diberikan kepada bayi dan anak-anak karena kandungan gulanya yang cukup tinggi.
Menurutnya, konsumsi minuman dengan kadar gula sangat tinggi seperti SKM ini merupakan indikator asupan makanan yang buruk, karena merupakan konsumsi yang tinggi kalori.
Kalori yang didapat dari gula memberikan nilai gizi yang rendah yang menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak sehat.
“Jadi, tingginya kadar gula pada SKM membuat produk ini tidak sehat untuk dikonsumsi terutama oleh balita, anak-anak dan remaja, karena risiko kerusakan gigi, obesitas dan penyakit degeneratif yang akan terbawa sampai dewasa,” katanya.
Menurut Standard Nasional Indonesia (SNI) 01-2971-1998, Susu Kental Manis adalah produk susu berbentuk kental yang diperoleh dengan menghilangkan sebagian air dari susu segar atau hasil rekonstitusi susu bubuk berlemak penuh, atau hasil rekombinasi susu bubuk tanpa lemak dengan lemak susu/lemak nabati, yang telah ditambah gula, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Kandungan gula pada SKM menurut ketentuan SNI adalah 43-48%, yang merupakan gula yang ditambahkan.
“Jadi, SKM sama sekali tidak bisa ditempatkan sejajar dengan susu sebagaimana dipahami secara umum,” ucap Nia.
Karenanya, dia mengatakan penting bagi masyarakat khususnya para ibu untuk membentuk pola makan sehat dalam keluarga, yang tentunya dimulai dengan memberi arahan tentang pola makan yang baik dan benar pada anak-anak sejak dini sebagaimana telah dipaparkan dalam tumpeng gizi seimbang.
Gula adalah produk berkalori dengan kandungan gizi kosong yang menempati puncak tumpeng gizi seimbang, yang artinya perlu dibatasi jumlah asupannya.
“Artinya, SKM adalah produk yang harus mendapat batasan jelas dan tidak bisa dikategorikan sebagai asupan gizi seimbang, apalagi ditujukan bagi anak yang sedang tumbuh kembang,” tukasnya.
Nia mengamati ada beberapa faktor yang menyebabkan pemberian SKM kepada bayi dan anak-anak. Salah satunya adalah karena ketidaktahuan informasi mengenai SKM itu bukan susu yang disebabkan edukasi ke masyarakat yang masih kurang.
Menurutnya, informasi yang lebih banyak diterima masyarakat adalah iklan yang ditayangkan di TV dan medsos yang muatannya hanya buat jualan.
“Ini yang akhirnya menyebabkan yang sampai ke masyarakat itu, ya susu kental manis. Iklannya pun memvisualisasikan anak-anak yang minum, padahal anak-anak kan nggak boleh minum SKM,” tandasnya.
Dia pun meminta agar Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), harus menjadi wasit yang adil dalam mengatur iklan-ikan SKM ini.
Di mana, selain mengatur perekonomian perdagangan di negara ini, mereka juga harus memiliki aturan main yang tidak merugikan kesehatan ibu dan anak.
“Jadi, iklan-iklan produk-produk yang mengganggu kesehatan bayi dan anak seperti SKM ini, sebaiknya juga diatur supaya tidak membuat masyarakat bingung dan termakan iklan-iklan yang klaim-klaim kesehatannya sangat berlebihan,” ucapnya.
Karenanya, dia meminta agar tulisan di kaleng SKM itu, tulisan "perhatikan! tidak untuk menggantikan air susu ibu, tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan, tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi", harus dibuat besar agar mudah dibaca dengan jelas.
Di depan mereknya, tulisan pada kotak peringatan itu harus sudah kelihatan dengan jelas di kalengnya.
“Hal ini penting supaya masyarakat sadar bahwa SKM itu bukan produk yang bisa menggantikan ASI, karena ASI itu memang tidak tergantikan,” katanya.
Untuk membantu pemerintah mencegah masyarakat memberikan SKM kepada para bayi dan anak mereka, menurut Nia, AIMI ikut memberikan edukasi ke masyarakat.
Pihaknya selalu mensosialisasikan tentang pentingnya menyusui bayi, resikonya kalau tidak menyusui itu apa, dan menjelaskan mengenai dampak dari kandungan gula yang tinggi dari manakanan dan minuman jika diberikan kepada bayi dan anak-anak.
Selain pengaruh iklan, menurut Nia, penyebab lain tingginya pemberian konsumsi SKM kepada bayi dan anak-anak adalah karena pemberian cuti maternitas atau pasca melahirkan yang sangat pendek -hanya 1,5 bulan- dari perusahaan.
Hal ini menyebabkan para ibu yang bekerja khususnya di pabrik-pabrik tidak memiliki kesempatan yang lebih panjang untuk menyusui bayi-bayi mereka.
Artinya, waktu habis melahirkan itu mereka tidak disupport untuk bisa menyusui.
Akibatnya, karena kehidupan ekonominya yang tidak mampu untuk memberikan susu mahal kepada bayi mereka, maka mereka pun akhirnya memberikan susu kental manis yang harganya lebih murah.
“Mereka berpikir SKM itu sama saja dengan susu-susu lainnya karena ada kata susunya. Padahal SKM itu isinya gula doang, yang bisa menyebabkan kurang gizi bayi-bayi mereka,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: