Setahun lebih pandemi Covid-19 telah merebak di seluruh dunia dan berdampak signifikan terhadap perekonomian hingga memicu resesi di berbagai negara. Namun, Bank DBS masih optimistis akan terjadi pemulihan ekonomi di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya di tahun ini seiring berlangsungnya program vaksinasi.
Tahun 2020 merupakan periode menantang bagi perekonomian Asia bahkan global. Kurva kasus Covid-19 terus meningkat sejak Maret 2020 hingga Februari 2021 di beberapa negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Berbagai negara mulai memberlakukan kebijakan pembatasan mobilitas untuk menahan laju penyebaran Covid-19.
Baca Juga: Sampoerna Melaporkan Hasil FY 2020, Tegaskan Komitmen Dukung Pemulihan Ekonomi Nasional
Pembatasan mobilitas ini pun berdampak langsung terhadap perekonomian. Dikutip dari riset DBS Asian Insights, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2020 terkontraksi sebesar 2,1% secara tahunan (year-on-year) bersama negara lain seperti Malaysia (-5,6%), Singapura (-5,4%), Filipina (-9,5%) dan Thailand (-6,1%).
Namun pada tahun ini, Bank DBS memperkirakan ekonomi Indonesia akan membaik dengan pertumbuhan sebesar 4,0% dan 4,5% di tahun 2022. Secara umum, Bank DBS juga memproyeksikan pertumbuhan PDB ASEAN mencapai 5,2% secara tahunan (year-on-year) pada 2021 dibandingkan pada tahun lalu yang terkontraksi sebesar -4,3%.
Ekonom Bank DBS, Radhika Rao mengatakan, negara-negara dengan beban kasus Covid-19 memulai pemulihan secara perlahan (soft start) pada kuartal pertama 2021.
"Program vaksinasi telah dimulai di sejumlah negara dengan kecepatan yang berbeda-beda. Di Asia Tenggara, Indonesia dan Singapura merupakan dua negara yang lebih dulu memulai vaksinasi pada pertengahan Januari 2021," tulis Radhika dalam DBS Asian Insights bertajuk ASEAN-6 Chartbox: Turning-Corner, Senin (3/5).
Mengacu pada data Situasi Covid-19 oleh Komite Penanggulangan Covid-19 di Indonesia per awal Mei 2021, di Indonesia hingga saat ini sudah lebih dari 12,6 juta dosis vaksin disuntikkan kepada sebagian besar pekerja garis terdepan dan perawat kesehatan, dilanjutkan fase kedua untuk pegawai negeri dan lansia.
Dengan program vaksinasi, jumlah kasus Covid-19 diharapkan semakin terkendali. Mobilitas masyarakat pun dapat kembali normal sehingga membuka peluang terjadinya pemulihan ekonomi tahun ini.
Terlebih lagi beberapa indikator perbaikan perekonomian, seperti tren aktivitas manufaktur negara berkembang di Asia mulai menggeliat. Data Bank DBS menunjukkan, Purchasing Managers Index (PMI), sejak Juli 2020 terus mengalami kenaikan ke level ekspansi dari yang sebelumnya terkontraksi pada awal pandemi atau Maret 2020.
Di sisi lain, Bank DBS melihat pemulihan ekonomi global dan ketangguhan ekonomi Tiongkok bisa menjadi penggerak ekspor bagi negara-negara kawasan regional. Meski begitu, masih ada sejumlah risiko yang perlu diwaspadai seperti volatilitas pasar obligasi global dan harga minyak mentah dunia.
Pandemi Covid-19 juga berdampak besar terhadap kondisi fiskal dan tingkat utang Indonesia. Berdasarkan Undang-undang (UU) keuangan negara, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dibatasi maksimal 3% terhadap PDB, sedangkan utang pemerintah ditetapkan maksimal 60% terhadap PDB.
Bank DBS mencoba membandingkan kondisi Indonesia dengan negara lain seperti India, Filipina, Thailand, dan Malaysia, beberapa di kawasan yang secara konsisten mengalami defisit anggaran dan berada satu atau dua tingkat di atas sub-investasi.
Bank DBS berpandangan, dibandingkan dengan negara lain, defisit fiskal dan utang Indonesia memang meningkat, namun masih terkelola dengan baik atau masih lebih rendah dari batas maksimal PDB. Dalam satu dekade terakhir, defisit Indonesia berada di bawah 2,5%, lebih rendah dibandingkan dengan India yang mencapai 7% dan Malaysia 4%.
Sedangkan pada 2020-2022, hampir seluruh negara berkembang, termasuk Indonesia memperlebar batas defisit anggaran. Kebijakan ini dilakukan untuk memberikan fleksibilitas keuangan dalam menangani dampak krisis kesehatan.
“Tingkat utang pemerintah Indonesia meski terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, masih jauh di bawah ambang batas yang diizinkan dan lebih rendah dari negara-negara lain,” ujar Radhika.
Hal tersebut juga diperkuat dengan Lembaga Pemeringkat Fitch yang mempertahankan peringkat utang Indonesia atau Sovereign Credit Rating dengan BBB (investment grade) dengan outlook stabil pada 19 Maret 2021, sesuai rilis yang dikeluarkan Kementerian Keuangan RI pada Rabu (24/3).
Kebijakan Pemerintah
Meski rekam jejak fiskal Indonesia lebih menggembirakan jika dibandingkan negara lain di regional, menurut Radhika masih ada sejumlah besar pekerjaaan untuk mendorong penerimaan. Ada pun caranya dengan peningkatan struktural dalam mendorong pendapatan fiskal. Saat ini, pendapatan pajak masih mendominasi penerimaan Indonesia.
“Upaya meningkatkan penerimaan non-komoditas dan pendapatan keseluruhan menjadi prioritas pemerintah. Beberapa upaya baru sudah diperkenalkan melalui program pengampunan pajak (tax amnesty), memperbarui database serta memperluas basis pajak baru untuk e-commerce atau pelaku usaha digital,” kata Radhika.
Di sisi lain, pemerintah juga terus memperkuat tulang punggung kelembagaan untuk mendorong pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid- 19. Salah satunya dengan membentuk Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI), yang lahir dari Undang-undang (UU) Cipta Kerja.
Lembaga ini diharapkan mampu menarik lebih banyak investasi asing untuk membiayai pembangunan infrastruktur nasional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menyatakan optimistis dengan pertumbuhan ekonomi tahun ini. Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di kisaran 4,5% hingga 5,3%, jauh lebih baik dari 2020 yang mencapai -2,07%.
Berbagai indikator perbaikan ekonomi menurutnya sudah mulai terlihat di dalam negeri, seperti ekspor dan impor hingga konsumsi semen, baja, dan kendaraan niaga meningkat.
“Berbagai indikator ini yang akan terus kita dorong sehingga momentum pemulihan akan terus terjadi pada kuartal kedua," ujar Sri Mulyani dalam Temu Stakeholder untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional di Semarang, Kamis (25/3).
Hal ini diperkuat dengan diperolehnya outlook stabil dari sejumlah lembaga pemeringkat. Menurut Sri Mulyani, kondisi tersebut patut disyukuri. Selama pandemi, lembaga pemeringkat banyak melakukan penurunan peringkat negara-negara.
Sebab, pandemi berdampak besar, terutama pada kondisi fiskal. Sedangkan peringkat utang Indonesia di mata lembaga pemeringkat masih dinilai cukup baik dan relatif bisa dijaga dengan outlook stabil. Namun, pemerintah harus tetap waspada serta memperbaiki faktor struktural.
Di sisi lain, upaya mengendalikan kasus Covid-19 menurut Sri Mulyani masih tetap menjadi tantangan meski vaksinasi mulai berjalan. Masyarakat harus tetap disiplin dalam memberlakukan protokol kesehatan agar kasus tetap terkendali dan pemerintah tak perlu mengambil tindakan gas dan rem agar tak mengganggu perekonomian.
Untuk itu, penanganan Covid-19 masih menjadi strategi utama dalam mendorong pemulihan ekonomi tahun ini. Pemerintah dibantu Bank Indonesia dalam mendanai upaya tersebut. Selain itu, pemerintah berupaya mengungkit ekonomi dengan memberikan berbagai stimulus, terutama untuk mendorong perekonomian.
Pemerintah dan otoritas keuangan akan selalu memonitor dan siap menyesuaikan kebijakan sesuai dinamika yang berkembang.
"Instrumen APBN dengan moneter dan OJK, juga kami melakukan reformasi struktural melalui UU Cipta Kerja agar ekonomi tidak hanya pulih tetapi tumbuh kembali secara kuat dan lebih baik," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajria Anindya Utami