Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Lemahnya Keyakinan Diri Perempuan Berkarir dalam Industri Pers Akibat Ketimpangan Gender

        Lemahnya Keyakinan Diri Perempuan Berkarir dalam Industri Pers Akibat Ketimpangan Gender Kredit Foto: Unsplash/Hai Phung
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Remotivi bersama Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro menunjukkan perempuan cenderung menilai profesi jurnalisme belum ramah bagi golongan mereka. Riset yang melibatkan 157 perempuan dan 65 laki-laki dari program studi Jurnalistik di empat perguruan tinggi memperlihatkan hanya 30,2% mahasiswi yang berminat bekerja sebagai jurnalis.

        Secara garis besar, penelitian menunjukkan variabel yang paling memengaruhi minat bekerja mahasiswa di industri pers adalah ekspektasi hasil dan efikasi diri. Salah satu peneliti dalam riset tersebut, Dosen Jurnalistik Universitas Diponegoro Nurul Hasfi, mengatakan mahasiswa cenderung memiliki pandangan yang negatif terkait ekspektasi hasil yang ditawarkan profesi jurnalis.

        Baca Juga: Adopsi Digital Dorong Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi & Kesetaraan bagi Perempuan Pelaku Usaha Mikro

        "Ada pandangan negatif terhadap profesi jurnalis, di mana gaji yang dipandang tidak mencukupi dan menawarkan jenjang karir yang tidak pasti, itu pandangan dari mahasiswa dan mahasiswi," ujar Nurul dalam Diskusi dan Peluncuran Hasil Riset: Mengapa Ada Banyak Mahasiswi Jurnalistik tetapi Hanya Sedikit Jurnalis Perempuan?, Sabtu (10/7/2021).

        Sementara itu, dalam hal efikasi diri ada perbedaan yang tampak antara mahasiswa dan mahasiswi. Peneliti lain dalam riset tersebut, Dosen Komunikasi UI Eriyanto, mengungkapkan efikasi diri mahasiswi dipengaruhi oleh pengalaman belajar dan kompentensi diri. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi pada mahasiswa.

        "Dari pengujian statistik yang kami lakukan menunjukkan bahwa faktor kompetensi dan pengalaman belajar tidak menjadi variabel yang memengaruhi responden laki-laki atau mahasiswa," ungkap Eriyanto.

        Ia menyampaikan laki-laki cenderung yakin mampu menjadi jurnalis meskipun mereka tidak memiliki kompetensi dalam bidang jurnalisme. Eriyanto menduga rasa percaya diri itu muncul karena profesi jurnalistik lebih dilihat sebagai profesi laki-laki.

        Pada akhirnya, pandangan tersebut memengaruhi pengalaman belajar dan magang mahasiswi. Survei riset menunjukkan perempuan lebih positif melihat diri mereka pada proses belajar di kelas. Akan tetapi, di tempat magang mereka cenderung diberikan tugas membuat soft news.

        72,45% responden perempuan mengaku sering ditugaskan meliput isu fesyen, hiburan, wisata, kuliner, dan keluarga selama mengikuti program magang. Hanya 28,57% responden yang mengatakan pernah mendapat tugas meliput isu politik, hukum, dan keamanan.

        "Ketika dieksplorasi lebih lanjut dalam sesi FGD (forum group discussion), baik partisipan laki-laki dan perempuan mengakui adanya hambatan dan stereotip-stereotip gender yang dialami calon jurnalis perempuan, baik di ruang kelas maupun tempat magang," kata Eriyanto.

        Hal tersebut kemudian berimbas pada kepercayaan diri mahasiswi untuk sukses berkarir di bidang jurnalisme.

        "Mahasiswi percaya bisa bekerja sebagai jurnalis, tetapi kurang percaya bisa menduduki posisi puncak karir," ujar Nurul.

        Nurul menjelaskan efikasi diri pada perempuan dipengaruhi oleh berbagai stereotip yang seringkali dilekatkan pada perempuan. Dalam penelitian tersebut, stereotip yang dialami perempuan terfokus pada dua hal, stereotip kultural dan psikologis.

        Stereotip kultural cenderung memandang perempuan lebih cocok untuk pekerjaan domestik. "Perempuan mengakui pekerjaan domestik itu menjadi penghalang. Sementara laki-laki, bahkan dalam proses belajar mengajar di kelas mereka cenderung dipilih sebagai ketua kelas. Itu artinya dari sana pun sudah dibentuk," tuturnya.

        Sementara stereotip psikologis cenderung membentuk persepsi bahwa perempuan lebih mengedepankan perasaan sehingga dianggap kurang memenuhi kriteria jurnalis yang membutuhkan sikap rasional. Sedangkan label rasional itu sendiri selalu diberikan kepada kaum laki-laki.

        "Jadi, jurnalis dianggap sebagai pekerjaan yang membutuhkan sifat-sifat maskulin," tambah Nurul.

        Pemaparan tersebut diamini oleh anggota Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bidang Gender, Anak, dan Marjinal, Evi Mariani. Evi mengungkapkan dalam realitas profesi jurnalis itu sendiri masih banyak ketimpangan yang dialami kaum perempuan.

        Salah satunya, perempuan cenderung sulit menerima promosi jabatan karena berbagai alasan, termasuk dipandang tidak mampu memenuhi tanggung jawab pekerjaan jurnalis atau sudah mengundurkan diri dari jabatan sebelum dipromosikan.

        "Padahal sifat tuntutan pekerjaan itu sangat tidak menimbang peran ganda perempuan. Ketika akhirnya yang dipromosiin laki-laki semua, yang salah siapa? Perempuan lagi. Karena enggak mau, enggak mampu, keluar duluan," tukas Evi.

        Evi mengapresiasi para peneliti yang mengangkat isu mengenai pengalaman perempuan dalam bidang jurnalisme ini. Penelitian ini sendiri diharapkan bisa menjadi pemantik urgensi bagi manajemen media untuk menciptakan ruang dan budaya kerja yang ramah kepada perempuan.

        "Riset ini penting karena yang paling basic aja keseimbangan gender itu saya sendiri mengalami lumayan berat. Banyak perempuan keren yang akhirnya mental karena enggak didukung, enggak ada support system-nya," tutur Evi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Imamatul Silfia
        Editor: Alfi Dinilhaq

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: