Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Raja Branding: Jika Produk Tak Mampu Terjual, Maka Biarkan Branding yang Bekerja

        Raja Branding: Jika Produk Tak Mampu Terjual, Maka Biarkan Branding yang Bekerja Kredit Foto: Twitter/Sumbo Tinarbuko
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Raja branding, Subiakto Priosoedarsono mengungkap bahwa brand adalah persepsi yang ada di benak konsumen. Pada tahun 1990an, belum ada branding. Tetapi, komunikasi pemasaran di dalamnya termasuk logo dari produk. Itulah cikal bakal branding.

        Dalam video YouTube Helmy Yahya 'Ngomong Branding Dengan Raja Branding', Subiakto mengakui bahwa saat ini branding termasuk ke dalam bagian marketing. Padahal, branding menyumbang intangible asset atau aset tidak berwujud yang nilainya bisa lebih tinggi dari marketing yang menjual produk. Seperti Coca-cola, valuasinya besar dari brand bukan dari produknya. Sama halnya seperti Gojek yang total valuasinya melebihi Garuda yang memiliki pesawat atau aset.

        Baca Juga: Ambil Alih Vision88, Fudosan Toshi Garap Bisnis Digital Indonesia

        Karena itu, Subiakto berujar posisi marketing dan branding sejatinya adalah sejajar. Banyak yang tidak menyadari bahwa brand adalah jaminan pendapatan di masa depan. Misalnya, ada pabrik sepatu non brand dipinjamkan brand oleh NIKE, sudah pasti penjualannya akan melonjak berkali-kali lipat.

        Perusahaan seharusnya sadar bahwa dalam dunia modern, membesarkan branding memberikan nilai lebih tinggi daripada hanya mengumpulkan aset-aset fisik.

        Subiakto mengutip pernyataan Steve Jobs yang mengatakan bahwa brand adalah kepercayaan. Tinggal bagaimana kepercayaan itu tercipta. Entah dari produknya, penjualnya, perusahaannya atau dari negara penjualnya.

        Jika percaya pada produknya, maka bangunlah product brand. Jika percaya pada pemiliknya atau penjual produknya, maka bangunlah personal branding. Kalau percaya pada perusahaannya maka bangunlah corporate brand. Dan jika memiliki banyak uang serta upaya-upaya yang maksimal, maka bangunlah semuanya, meski itu perjalanan panjang dan cukup sulit.

        Subiakto bercerita saat Mayora hendak go public, ia membuat branding 'Satu lagi dari Mayora'. Itu dilakukan karena tidak ada dana untuk membangun corporate brand. Karena itulah ditempelkan produk yang terkenal dari Mayora seperti Kopiko, Biskuit Roma, dan lain-lain ke dalam brand tersebut.

        "Biarkan produk yang berbicara dari corporate brand," ujar Subiakto.

        Lebih lanjut, Subiakto mengungkap untuk UMKM maka lebih baik bangunlah personal branding. Ini karena UMKM lebih lincah dan gesit karena kecil, serta bisa gonta-ganti produk. Terkait personal branding ini, Subiakto mengungkap bahwa setiap nama berhak menjadi brand.

        "Kalau Anda memiliki nama, maka Anda bisa menjadi brand," ujarnya.

        Membangun personal branding harus didasarkan pada apa yang akan kita tinggalkan jika sudah tidak ada di dunia. Karena itu, sebisa mungkin membangun legacy. Setelahnya, carilah kompetensi apa yang kita miliki untuk dapat diakui sebagai prestasi.

        Membangun personal branding juga harus dari inventory seperti buku, film, karya, logo, tagline dan lain-lain sehingga membangun persepsi. Yang penting adalah menentukan inventory yang cocok. Subiakto mengungkap bahwa otak manusia hanya mampu mengenali 7 brand di otaknya. Adapun tiga di antaranya adalah The Top of Mind.

        Subiakto juga mengakui bahwa personal branding adalah persepsi seseorang oleh seseorang. Jika diurutkan maka menjadi persepsi, ekspektasi, reaksi dan yang terakhir adalah aksi.

        Personal brand yang biasa dilakukan Subiakto ada tiga yaitu 'Siapa Anda', yang kedua 'Publik mendapat manfaat apa', kemudian yang ketiga adalah 'Publik menjadi siapa yang mendapat manfaat dari Anda'.

        Lebih lanjut, Subiakto mengungkap bahwa pada dasarnya semua brand memiliki produk. Baik yang berwujud atau tidak berwujud. Dalam menciptakan sebuah brand, Subiakto mengaku bahwa memang diperlukan disruptive product.

        Selain itu ada juga tagline yaitu kalimat indah dari suatu positioning yang dibangun dari tiga hal yaitu yang pertama adalah keahlian, lalu value, dan terakhir added value, barulah positioning. Sehingga tagline-nya bisa menjadi satu kesatuan semisal menjadi tagline 'Dokter penolong yang menyenangkan', ujar Subiakto.

        Terakhir, Helmy Yahya menegaskan bahwa personal branding bukanlah atribut sesaat. Tetapi adalah hasil dari perjalanan panjang seseorang. Ketika ingin membangun personal branding untuk UMKM, maka bangunlah kepercayaan kepada orangnya. Menjadi populer tidak terlalu penting, yang penting adalah tepat sasaran.

        Terlebih di tengah pandemi seperti ini, Subiakto menuturkan jika produk tak mampu terjual, maka biarkan brand yang bekerja. Karena itu, penting membentuk brand sejak jauh sebelum terjadi krisis. Jika krisis terjadi, maka orang-orang akan mencari brand Anda.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajria Anindya Utami
        Editor: Fajria Anindya Utami

        Bagikan Artikel: