Partai Amanat Nasional (PAN) menyadari, keterikatan pemilih dengan partai politik (parpol) masih sangat rendah. Hal itu bisa diketahui dari minimnya jumlah pemilih ideologis atau militannya.
Hal ini merupakan tanggapan dari hasil survei dari Spektrum Politika Institute (SPI) mengenai tingkat kesukaan dan kedekatan masyarakat (Party ID) ke partai politik yang masih rendah, yaitu di angka 33,2 persen. Sedangkan yang belum suka dan dekat denganpartai politik di 59,4 persen.
“Meski di survei SPI nilai elektabilitas PDIP juara, tetapi angka party ID 33,2 persen terdistribusi ke semua parpol,” ungkap Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PAN, Viva Yoga Mauladi dalam keterangan kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Baca Juga: Sangat Jelas! Anies Baswedan Calon Pemenang Pilpres, PDIP Lebih Baik Segera.....
Dengan kata lain, “ikatan cinta” pemilih dan partai masih rendah. Semua parpol pasti terus berjuang agar pemilih ideologisnya membesar untuk dijadikan basis sosial atau konstituen militan. Semakin besar basis konstituen militan maka semakin besar angka party ID suatu partai politik. “Ini untuk memastikan perolehan suara di setiap pemilu,” ucapnya.
Setiap partai politik akan berjuang memperbesar basis konstituennya melalui program atau kegiatan secara berkelanjutan. Membangun basis konstituen tidak mudah. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar, rutin, fokus, ulet, dengan mengerahkan sumber daya partai yang tak kecil, mulai logistik, kader, organisasi dan manajemen.
Lebih lanjut Viva menerangkan, masih ada jarak dan sekat antara partai politik dengan rakyat. Karena program pembinaan, komunikasi, dan kehadiran parpol belum dirasakan secara signifikan oleh rakyat. “Hadir di saat menjelang pemilu, lima tahunan saja,” katanya.
Mengapa party ID dalam kehidupan sistem kepartaian masih kecil? Dijelaskan Viva, kebanyakan masyarakat belum mempersepsikan partai politik sebagai pilar demokrasi. Demokrasi ada karena adanya partai politik, yang secara sosiologis sebagai pengejahwantahan dari representasi masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi, pandangan, kepentingan, dan cita-cita, lalu bergabung mendirikan partai politik.
Dikatakan, bila partai politik saling silang ide dan kepentingan, hal itu sudah menjadi taken for granted, keniscayaan berdemokrasi. Tetapi secara fungsional, konflik parpol itu sejatinya cerminan dari konflik yang terjadi di masyarakat. Di sistem demokrasi, itu memindahkan konflik horizontal ke arena konflik parlementarian.
“Parpol identik dengan konflik kepentingan itu harus diarahkan ke hal yang kualitatif. Bukan soal recehan, misal uang perjalanan dinas, konflik internal berebut jabatan, dan lainnya. Partai politik juga harus menjaga marwahnya dari noda dan virus destruktif,” papar Viva.
Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini mengatakan, pemilihan langsung belum berdampak berarti terhadap kedekatan wakil rakyat atau anggota legislatif dengan masyarakat yang diwakili dari daerah pemilihannya (dapil).
“Kondisi ekonomi rakyat yang serba sulit, sehingga bersikap skeptis dan membuka celah jual-beli suara. Praktik ini akan mendegradasi kualitas demokrasi. Karena hasil elektoral di pemilu tidak sesuai kenyataan,” jelasnya.
Menurut Viva, perlu kerjasama kolektif seluruh partai politik untuk membangun kualitas demokrasi, berkomitmen untuk memberikan pendidikan politik, agar rakyat semakin cerdas, sadar, dan partisipatif. Menyuarakan kebenaran dan kenyataan yang terjadi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajria Anindya Utami