Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        IETD 2021 Berakhir, ICEF dan IESR Berikan 10 Rekomendasi Transisi Energi di Indonesia

        IETD 2021 Berakhir, ICEF dan IESR Berikan 10 Rekomendasi Transisi Energi di Indonesia Kredit Foto: Bethriq Kindy Arrazy
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Eksekutif Institute Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan, energi surya Indonesia memiliki ketersediaan energi yang melimpah dan bisa dimanfaatkan untuk sektor ketenagalistrikan. Agar hal tersebut tercapai, dibutuhkan dukungan kebijakan yang tepat dalam mempercepat penggunaan energi baru terbarukan (EBT).

        "Kami IESR dan ICEF dalam berbagai dialog akan menyampaikan rekomendasi dari rangkuman dialog selama 5 hari ini," ujarnya dalam sesi terakhir Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), Recommendation to Policy Makers and Closing Remarks, Jumat (24/9/2021).

        Baca Juga: Dukungan Kebijakan Nyata Pemerintah Diperlukan untuk Kepastian Pembiayaan Energi Terbarukan

        Pertama, diperlukan kerangka kebijakan dan mengintegrasikan kebijakan utama untuk bisa mencapai dekarbonasasi yang mendalam. Agar hal tersebut tercapai, dibutuhkan UU yang kuat sebagai wujud dukungan politik Indonesia untuk mendorong dekarbonsasi dan pengembangan teknologi rendah karbon.

        Berdasarkan pengamatan Fabby, saat ini beberapa kebijakan yang berkorelasi dengan upaya dekarbonisasi dinilainya belum memadai. Ia mencontohkan kebijakan energi nasional dan RUEN yang menyebutkan tahun 2050 porsi energi fosil lebih tinggi jika dibandingkan dengan porsi EBT. Karena itu, target tersebut perlu diubah untuk memberikan kepastian target jangka panjang yang berkaitan dengan dekarbonisasi dengan EBT dari 2050-2060 mendatang.

        Fabby memperkirakan proses dekarbonisasi di Indonesia membutuhkan waktu hingga 30 tahun mendatang. Karena itu, diperlukan dukungan melalui kepastian jangka panjang agar target dan regulasi yang dibuat tidak berubah arah.

        "Terutama dekarbonisasi ini membutuhkan transformasi yang subtansial dan mendalam untuk sektor energi dan melibatkan investasi yang besar adanya perundangan yang memadai untuk memberkan kepastian untuk semua pihak untuk berinvestasi dalam transformasi energi kita," katanya.

        Kedua, diperlukan penetapan kebijakan yang dimaksudkan untuk menciptakan kesetaraan antara energi fosil dengan EBT selama dalam proses transisi menuju dekarbonisasi. Dengan begitu, EBT dapat bersaing dengan energi fosil khususnya surya dan angin agar dapat bersaing di Idnoensia.

        Namun, saat ini terdapat sejumlah kebijakan yang membuat energi fosil murah. Karena itu, diperlukan adanya kebijakan untuk mencabut subsidi energi fosil dan mulai ditetapkan harga karbon yang tepat agar nilai keekonomian energi fosil dapat dilihat secara tepat dengan merefleksikan harga dan eksternalistas sebenarnya. Dengan begitu, EBT bisa bersaing secara terbuka.

        Ketiga, perlunya menyusun rencana energi nasional dengan basis penurunan emisi karbon dengan mempertimbangkan potensi pengembangan teknologi rendah karbon yang ada. Fabby mengungkapkan, saat ini telah ada beberapa rencana pemanfaatan teknologi yang perlu diperhatikan terkait kecepatan inovasi pada masing-masing teknologi rendah karbon yang sudah tersedia di dunia. Salah satunya dengan mempertimbangkan harga atau biaya teknologi untuk 2030 hingga 2050 mendatang.

        "Karena itu, kebijakan energi khususnya soal harga harus memertimbangkan efek jangka panjang apa yang dirasakan murah hari ini karena ada distorsi pasar bisa menjadi mahal. Karena itu, perlu memikirkan teknologi akan yang perlu diintegrasikan dalam strategi dalam dekarbonisasi tahu 2060 dengan mempertimbangkan faktor biaya lebih matang," paparnya.

        Keempat, penetapan rencana penutupan dini PLTU secara optimal berdasarkan analisis data pada tiap unit PLTU. Analisis tersebut dapat digunakan sebagai strategi kapan akan dipensiunkan dan seberapa besar upaya akan mengisi kapasitas yang akan muncul ketika PLTU dipensiunkan.

        Fabby menambahkan, salah satu yang saat ini dilakukan pemerintah dengan dukungan lembaga pembangunan adalah energy transition mechanism sebuah upaya memobilisasi dukungan pendanaan agar PLTU dapat pensiun lebih awal atau melakukan retrofitting dari PLTU yang ada. Dengan begitu, seiring periode transisi berjalan akan dapat meningkatkan EBT serta mengalihkan pendanaan dan investasi yang sebelumnya masuk ke geothermal beralih ke EBT.

        Kelima, peningkatan bankability proyek energi terbarukan dengan memperbesar skala proyek dan dukungan regulasi yang komprehensif. Proyek EBT di Indonesia tidak dapat dibangun secara masif bila proyeknya bankability uang disebabkan faktor risiko berdasarkan sudut pandang investor maupun penyandang dana tentang kestabilan dari regulasi.

        "Maka, regulasi pemerintah yang transparan memberikan kejelasan mengenai risiko proyek itu perlu disusun. Kemudian juga penerapan proses pengadaan yang kompetitif dan aturan lain yang perlu dibuat secara komprehensif mengenai tarif, insentif, subsidi dan pengurangan risiko terharap proyek EBT," katanya.

        Keenam, peningkatan adopsi kendaraan listrik dengan membangung ekosistem kendaraan listrik. Fabby mengatakan hal tersebut juga perlu dikombinasikan dengan kebijakan akselerasi kendaraan listrik dengan pelarangan penggunaan kendaraan konvensional baik dari kawasan tertentu, pembatasan tahun, hingga penerapan standar efisiensi bahan bakar fosil dengan listrik. Selain itu, dengan perlunya dukungan industri baterai dalam negeri secara nasional agar dapat memaksimalkan potensi ekonomi.

        Ketujuh, penentuan peran bahan bakar bersih yang jelas dalam dekarobonisasi menyeluruh sistem transportasi. Fabby memprediksikan kendaraan listrik akan lebih mendominasi dibandingkan kendaraan berpenumpang berdasarkan tren saat ini.

        Baca Juga: Investasi Energi Terbarukan Terus Meningkat, di Indonesia Penuh dengan Tantangan

        Karena itu, bahan bakar bersih perlu dipikirkan, terutama dekarbonisasi sektor transportasi yang tidak bisa dengan mudah itu digantikan listrik, di antaranya seperti transportasi laut, alat berat, pesawat terbang yang tidak mudah digantikan listrik. Di sisi lain, hal tersebut dapat disiasati dengan penggunaan bahan bakar nabati di Indoensia karena memiliki sumber daya melimpah.

        Kedelapan, dukungan kebijakan, integrasi, dan kolaborasi dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk mendorong iklim investasi terhadap energi terbarukan. Dengan target jangka pendek, yakni sebesar 23 persen tahun 2025, diperlukan adanya upaya untuk memperbaiki iklim investasi dan mendorong EBT lebih besar. Salah satunya dengan mendukung komitmen pemerintah dalam jangka panjang melalui kebijakan yang memberikan kejelasan agar memberikan keyakinan kepada investor atau pengembang EBT di Indonesia.

        Kesembilan, pengembangan industri rendah karbon sebagai industri prioritas nasional. Berdasarkan sejumlah kajian yang ditemukan Fabby, perekonomian dapat tumbuh jika menggunakan pendekatan pertumbuhan energi rendah karbon. Di Indonesia saat ini sudah teridentifikasi seperti industri baterai, industri kendaraan listrik, industri BBM bersih, industri modul, dan sel surya.

        Oleh sebab itu, strategi tersebut perlu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan juga Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) yang berbasis pada kebutuhan energi yang perlu diselaraskan dengan rencana riset dan pengembangan teknologi dalam negeri serta komersialisasi dan peningkatan skala proyek teknologi domestik.

        Kesepuluh, penyiapan tenaga kerja lokal untuk industri rendah karbon di masa depan. Hal utama yang perlu dilakukan adalah dengan menyiapkan kemampuan yang dibutuhkan untuk tenaga kerja Indonesia. "Agar bisa siap masuk ke industri rendah karbon yang akan muncul seiring proses transformasi ekonomi," pungkasnya.

        Sebagaimana diketahui, Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Service Reform (IESR), yang diselenggarakan sejak 20-24 September 2021, hari ini dinyatakan berakhir.

        Serangkaian kegiatan IETD yang diselenggarakan selama 5 hari tersebut secara keseluruhan memuat sebanyak 13 sesi utama dan sesi tambahan yang melibatkan sebanyak 80 pembicara dan panelis terkemuka nasional dan internasional, dengan jumlah partisipan sebanyak 1.500 pengguna di seluruh dunia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: