Sebagai bagian dari minyak nabati dunia, minyak sawit dan produk turunannya telah menjadi minyak nabati berkelanjutan yang diakui secara universal. Keberhasilan ini, merupakan prestasi besar bagi bangsa Indonesia, menyusul minyak sawit berkelanjutan paling banyak diproduksi dari Indonesia.
Hingga dewasa ini, minyak sawit merupakan satu-satunya minyak nabati global yang berhasil mendampuk label berkelanjutan.
Dibandingkan minyak nabati lainnya, keberadaan minyak sawit berkelanjutan merupakan satu-satunya minyak nabati yang berhasil menerapkan prinsip dan kriteria berkelanjutan yang diakui secara universal.
Pedoman keberlanjutan yang berhasil dilakukan tersebut, telah menjadi kemampuan utama dari minyak sawit sebagai minyak nabati berkelanjutan dunia.
Ketika minyak sawit menjadi satu-satunya minyak nabati berkelanjutan, maka keberadaan minyak sawit kian populer dan diminati konsumen global. Wajar bila kemudian, permintaan pasar global terus meningkat setiap tahunnya.
Tuntutan global terkait permintaan minyak sawit berkelanjutan langsung ditangkap dengan positif bagi sebagian produsen kelapa sawit nasional, seperti yang dilakukan Asian Agri group.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah dirintis semenjak tahun 1979 lalu ini, kini telah menjelma menjadi perushaaan yang terdepan dalam mengusung kemitraan dengan petani sawit, selain menjadi salah satu produsen utama biodiesel di Indonesia.
Dikatakan Direktur Asian Agri, Bernard Riedo, kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit Asian Agri (kebun inti) telah seluas 100 ribu ha, serta telah bermitra dengan petani sawit dengan model skim plasma terdapat 60 ribu ha, dan model kemitraan melalui dengan petani swadaya mencapai 42 ribu ha.
"Perkebunan kelapa sawit yang kami kelola tersebar di tiga wilayah yakni, Sumatera Utara, Riau dan Jambi,” kata Bernard, dalam acara FGD SAWIT BERKELANJUTAN VOL 11, bertajuk “Minyak Sawit Sebagai Minyak Nabati Berkelanjutan Terbesar Dunia”, yang diadakan media InfoSAWIT, Kamis (9/12/2021) secara online.
Lebih lanjut kata Bernard, produksi minyak sawit Asian Agri telah mencapai 1,1 juta ton per tahun, dan telah menjadi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sustainable, lantaran memperoleh sertifikasi minyak sawit berkelanjutan terbesar di dunia, baik untuk skim Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Indoensian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).
“Serta telah menjadi perusahaan perkeunan kelapa sawit pertama yang mitra petani sawit swadaya-nya memperoleh sertifikat RSPO dan ISPO,” katanya.
Tak hanya memenuhi aspek praktik sawit berkelanjutan dalam proses budidaya di perkebunan kelapa sawitnya, Asian Agri juga memiliki tingkat produksi kelapa sawit yang cukup tinggi, dibandingkan produktivitas rata-rata perkebunan kelapa sawit global.
Produktivitas rata-rata kebun sawit Asian Agri mencapai 5,38 ton CPO/ha/tahun, lebih tinggi dari rata- rata produktivitas perkebunan kelapa sawit global yang mencapai 4,3 ton/ha/tahun.
Angka ini bahkan memiliki tingkat produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas minyak nabati lainnya seperti rapeseed yang mencapai 0,7 ton/ha, minyak bunga matahari sekitra 0,52/ha dan minyak kedelai yang hanya mencapai 0,45/ha.
Sementara merujuk data dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) tahun 2020,bila dilihat dari penggunaan lahan diantara minyak nabati global, maka minyak sawit yang terlihat paling hemat dalam penggunaan lahan yakni hanya mencapai 11% dari luas lahan minyak nabati global.
“Jauh dibandingkan minyak kedelai yang menggunakan lahan seluas 59% dari total lahan minyak nabati di dunia, disusul rapeseed sebanyal 17%, dan bunga matahari sekitra 13%,” katanya.
Kendati demikian para pelaku perkebunan kelapa sawit nasional tetap berkomitmen dalam menerapkan praktik sawit berkelanjutan, misalnya saja yang diadopsi Asian Agri dengan Sustainability Policy & Certifications, yang meliputi No Deforestasi, perlindungan lahan gambut, dan peningkatan dampak sosial ekonomi masyarakat sekitar kebun.
Praktik sawit berkelanjutan tersebut nampak dari penerapan inisiatif berkelanjutan (Sustainable Initiative) perusahaan, yakni dengan adanya penerapan Best Management Practicess (BMP) dalam budidaya kelapa sawit termasuk kepada mitra petani, dukungan benih sawit unggul, pemberian premium sharing bagi petani yang telah menerapkan praktik sawit berkelanjutan, serta melakukan menejemen energi dengan memanfaatkan limbah sawit menjadi biogas.
“Termasuk melakukan pengembangan komunitas, penerapan program pencegahan kebakaran lahan dan hutan, dukungan Asian Agri Learning institute, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait,” tandas Bernard.
Sementara diungkapkan, Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk., M Hadi Sugeng, praktik sawit berkelanjutan telah dilakukan semenjak 2011 lalu sesuai kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang mana regulasi ISPO terus berkembang dan telah dilakukan beberapa kali revisi hingga ditetapkannya Perpres No. 44 Tahun 2020, Tentang Sistem Serifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, dengan regulasi petunjuk teknis sesuai Permentan No. 38 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Tutur Hadi, yang juga sebagai Kepala Bidang Implementasi ISPO Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Pusat, point penting perubahan kebijakan ISPO sesua Perpres 44 Tahun 2020 setidaknya ada lima, pertama wajibbagi pekebun setalah 5 tahun sejak diberlakukan Perpres ini, sebelumnya regulasi masih bersifat sukarela.
Lantas, tidak membedakan Prinsip dan kriteria pekebun plasma dan swadaya yang mana sebelumnya berbeda. Ketiga, sertifikat ISPO dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi (LS), dan disahkan oleh pimpinan LS, sebelumnya oleh Komisi ISPO.
Keempat, kelembagaan ISPO yakni Dewan Pengarah diketuai oleh Kemenko dan Komite ISPO diketuai oleh Menteri Pertanian, sebelumnya ada Komisi, Sekretariat & Tim Penilai ISPO. “Serta Kelima, Prinsip & Kriteria ISPO mencantumkan aspek transparansi, dimana sebelumnya tidak diatur,” tutur Hadi Sugeng menjelaskan.
Sementara merujuk informasi GAPKI, sampai September 2021, capaian Sertifikat ISPO perusahaan anggaota GAPKI telah dikeluarkan sebanyak 542 sertifikat, lantas sertifikasi ISPO untuk non GAPKI sebanyak 275 sertifat, dan yang didapat petani sebanyak 24 sertifikat, dengan total sebanyak 841 sertifikat.
Untuk percepatan penerapan ISPO, kata Hadi, GAPKI juga melakuka beberapa langkah seperti Coaching & Clinic ISPO Skim Permentan No. 11/2015, dilakukan di 11 Cabang GAPKI dengan jumlah Perusahaan 349 dan meliputi 631 orang, selama Periode 2018–2020, kegiatan ini diselenggarakan untuk Anggota dan Non Anggota GAPKI. “Serta bekerjasama dengan Sekretariat Komisi ISPO dan Melibatkan Instansi terkait dari Pemerintah Daerah,” katanya.
Peneliti Sustainable Palm Oil Support Indonesia (SPOSI), M Ichsan Saif mengungkapkan, rencana pemerintahan Presiden Jokowi kedepan berupaya peningkatan campuran biodiesel serta pengembangan green fuels. Program ini bahkan masuk ke Proyek strategis nasional (RPJMN 2019-2024), lantas melakukan pembangunan green refinery oleh Pertamina di Plaju dan Cilacap.
Program tersebut membutuhkan dana insentif dengan kebutuhan lebih tinggi, terleboh HIP green fuels mencapai Rp 14-17 ribu Rp per liter supaya harga Biodiesel bisa mencapai Rp 10-11 ribu Rp per liter. Pada saat ini juga perubahan struktur rantai pasok dan aktor.
Kata Ichsan Saif, alasan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) sawit guna memperbaiki ketahanan energi dan defisit neraca perdagangan BBM, serta menjaga harga sawit global akibat kontroversi sawit global dan kelebihan pasokan minyak sawit.
Hanya saja ada resiko yang harus dipertimbangkan, semisal kemampuan dana BPDPKS untuk mensubsidi biodiesel sampai sejauh mana, dan juga greenfuels ke depannya akan seperti apa?, lantas berpotensi terjadi kompetisi pasar antara biodiesel, green fuel, dan electric vehicle. “Terpenting akan ada peningkatan kebutuhan akan lahan,” katanya.
Plt. Direktur Kemitraan BPDPKS, Edi Wibowo, fokus program pengembangan industri sawit dalam negeri meliputi disektor hulu, yakni Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), dukungan sara dan prasarana, serta program pengembangan SDM.
“Dampak untuk petani sawit swadaya berupa Efisiensi biaya usaha berkebun sawit rakyat, serta harga jual TBS Sawit yang optimum, “ kata Edy menjelaskan.
Lebih lanjut kata dia, sampai Oktober 2021 jumlah pekebun sawit yang terlibat dalam PSR mencapai 102.209 petani, dengan luas lahan sekiar 234.392 ha, serta dana yang telah tersalurkan sejumlah Rp 6,34 triliun.
Tutur Edy, manfaat dari program ini meliputi tiga hal yakni, pertama meningkatkan produktivitas kebun kelapa sawit rakyat, kedua, menerapkan praktik kebun terbaik (GAP), serta memperbaiki tata ruang perkebunan rakyat
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: