Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ahli Hukum Blak-blakan Soroti Tuntutan Hukuman Mati Heru Hidayat, Eks Kader PDIP Disebut-sebut

        Ahli Hukum Blak-blakan Soroti Tuntutan Hukuman Mati Heru Hidayat, Eks Kader PDIP Disebut-sebut Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi -

        Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Dian Adriawan membandingkan tuntutan hukuman mati terhadap bos PT Trada Alam Minerba, Heru Hidayat, terkait kasus dugaan korupsi PT Asabri dengan kasus suap pengadaan Bansos COVID-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.

        Diketahui, Juliari hanya dituntut 11 tahun penjara oleh jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun pada vonisnya, hakim menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara terhadap Juliari.

        Menurut Dian, seharusnya pidana mati lebih tepat diterapkan dalam kasus korupsi terhadap dana-dana yang dipergunakan untuk penanganan dan penanggulangan kondisi darurat.

        Dia mencontohkan kondisi darurat tersebut seperti bencana nasional atau krisis moneter. Sedangkan, tindak pidana korupsi Heru Hidayat tidak terkait dengan kondisi darurat tersebut.

        Baca Juga: Luruskan Anggota FPI Viral Bukan Bule, Aziz Yanuar: Orang FPI Emang Ganteng-ganteng

        “Terkait dengan Pasal 2 ayat 2, pidana mati kan untuk situasi darurat, situasi tertentu. Sebenarnya situasi tertentu itu cocoknya, yang paling tepat kalau diterapkan pada kasus yang lain, seperti kasus Bansos, itu terjadi pada masa pandemi seharusnya hukuman mati,” kata Dian dikutip awak media, Sabtu, 11 Desember 2021.

        Dian lebih jauh menilai tuntutan pidana mati yang dilayangkan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung terhadap Heru Hidayat sangat keliru.

        Hal ini lantaran, kata Dian, surat dakwaan yang dibuat jaksa terhadap Heru Hidayat sama sekali tidak memuat Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor.

        "Kalau tidak ada dalam surat dakwaan, berarti kekeliruan yang dilakukan jaksa saat dia mencantumkan itu (pidana hukum mati) di dalam tuntutan pidana,” ujarnya.

        Menurut Dian, surat dakwaan merupakan hal yang penting lantaran menjadi koridor bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan perkara. Surat dakwaan, kata Dian, menjadi batasan bagi jaksa dalam pengajuan tuntutan pidana bagi seorang terdakwa. 

        Karena itu, wajar bila banyak pihak menyebut tuntutan pidana mati oleh jaksa pada Kejagung hanya pencitraan belaka.

        “Kalau tidak ada dalam surat dakwaan, kemudian dalam tuntutan-tuntutan pidana ada Pasal 2 ayat (2), itu sesuatu kekeliruan JPU. Karena begini, apa yang ada dalam surat dakwaan, diantisipasi juga oleh terdakwa di dalam pembuktian. Nah, bagaiman dia (terdakwa) mengantisipasi Pasal 2 ayat (2) kalau tidak ada dalam surat dakwaan,” ujarnya.

        Baca Juga: Anwar Abbas ‘Turun Gunung’ Kritik Presiden Jokowi, Cuitan Tofa Partai Ummat Singgung Tugas DPR

        Dian juga menilai tindakan Heru Hidayat tidak bisa dikategorikan sebagai pengulangan tindakan pidana. Dian menjelaskan pengulangan tindak pidana terjadi ketika seseorang sudah diputuskan bersalah dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dan kemudian melakukan tindak pidana baru.

        “Pengulangan perbuatan itu terjadi apabila sudah ada perbuatan yang diputus oleh pengadilan dan kemudian dilakukan suatu perbuatan baru. Itu namanya pengulangan perbuatan. Kalau ini kasusnya bersama- sama. Pengertian yang dikemukakan oleh jaksa itu keliru kalau menurut saya,” ujarnya.

        Polemik Pengulangan Pidana

        Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Prof. Andi Hamzah menjelaskan definisi atau maksud pengulangan tindak pidana dalam suatu perkara atau perkara pidana.

        Menurut Andi, suatu perbuatan dinyatakan pengulangan tindak pidana jika seseorang melakukan tindak pidana baru setelah sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah dalam putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

        Andi mencontohkan, orang yang pernah melakukan tindak korupsi dan telah diputuskan bersalah oleh pengadilan, kemudian yang bersangkutan melakukan tindak pidana korupsi lagi.

        "Itu pengulangan, sudah diputus, korupsi lagi. Itu namanya melakukan pengulangan. Sudah melakukan korupsi, sudah diputus, korupsi lagi," kata Andi Hamzah kepada awak media, Sabtu, 11 Desember 2021.

        Polemik pengulangan tindak pidana mencuat ini ke publik pasca jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung menuntut pidana mati terhadap terdakwa perkara dugaan korupsi Asabri, Heru Hidayat dengan pidana hukuman mati. Jaksa menilai Heru melakukan pengulangan tindak pidana karena juga terlibat dalam kasus korupsi PT Jiwasraya.

        Sejumlah pakar dan ahli pidana pun mempertanyakan dan mengkritik tuntutan jaksa atas terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati dengan dalil pengulangan tindakan pidana.

        Baca Juga: Pohon yang Dipasang Bendera Habib Rizieq Ditebang, Cuitan Nicho Silalahi Singgung ‘Jenderal Baliho’

        Sebelumnya, Jaksa penuntut umum menuntut majelis hakim menjatuhkan hukuman mati terhadap bos PT Trada Alam Moneta Tbk (TRAM), Heru Hidayat karena terbukti terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan keuangan dan investasi PT Asabri (Persero) yang merugikan negara Rp22,7 Triliun.

        Selain itu, Jaksa juga meminta bos PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) itu membayar uang pengganti senilai Rp12,64 Triliun.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Bayu Muhardianto

        Bagikan Artikel: