Analisis soal Revisi UU Penyiaran masih berlanjut, kalau kemarin saya bongkar soal "ditabrak"-nya UU Pers No. 40/1999 dan "diselundupkan"-nya UU ITE No. 01/2024 (Revisi dari UU No. 11/2008 & No. 19/2016) didalam RUU Penyiaran ini, maka sekarang yg akan dibongkar adalah tujuan lain dari RUU ini yg akan menyasar Dunia Sosial Media, khususnya terkait maraknya tayangan2 YouTube, TikTok dsb akhir2 ini. Sebagaimana diketahui, jumlah YouTuber dan TikToker di Indonesia memang meningkat drastis dalam kurun waktu relatif singkat.
Dari jumlah penduduk sebanyak 278.7 juta jiwa, pengguna YouTube mencapai 139 juta di akhir tahun 2023. Ini membuat kita menjadi negara keempat dengan pengguna YouTube terbanyak di seluruh dunia. Sementara pengguna TikTok mencapai 126,83 juta pada Januari 2024. Angka tersebut meningkat 19,1% dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya, yakni sebanyak 106,52 juta jiwa. Inilah yg rupanya menarik bagi Rezim ini utk ikut "cawe-cawe" mengatur pengguna YouTube dan TikTok yg jumlahnya fantastis tsb. Sehingga dalam Revisi UU Penyiaran salah satu poinnya terkait penyelenggaraan platform digital penyiaran. Dengan kata lain, kreator konten yg memiliki dan-atau menjalankan akun media sosial seperti Youtube dan Tiktoke juga masuk dalam ranah UU Penyiaran ini.
Baca Juga: AJI: Revisi UU Penyiaran Akan Bawa Masa Depan Jurnalisme di Indonesia menuju Kegelapan
Dalam Opini sebelumnya sudah saya tulis soal UGC / User Generated Content yg akan diatur juga dalam RUU Penyiaran ini, namun mungkin belum banyak yg ngeh bahwa pengaturan UGC tsb adalah termasuk dalam konten yg didistribusikan melalui platform digital YouTube dan-atau TikTok tsb. Intinya 2 platform itu akan menjadi bagian langsung yg terkena dampak dari Revisi UU Penyiaran, karena dianggap tidak jauh bedanya dgn Media Penyiaran lain yg sudah umum seperti Televisi dan Radio selama ini.
Tetapi pengaturan ini saya nilai overlapping dgn pengaturan yg sudah ada di undang-undang lain. Sebab, saat ini pengaturan platform berbasis UGC seperti Youtube, TikTok dsb tsb mengacu pada UU ITE No. 01/2924 yg merupakan revisi dari UU No. 11/2008 dan UU No. 19/2016 sebelumnya. Bahkan jika dicek dlm PP 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik maupun Permenkominfo nomor 5/2020, sangat jelas pengaturan konten yg didistribusikan/ditransmisikan melalui platform berbasis UGC.
Tentu ini menjadi lucu sekaligus sangat problematis ketika konten yg didistribusikan melalui platform UGC itu dipersamakan dengan konten siaran TV dan-atau Radio yg sudah lama ada sekarang. Sebab konten siaran dihasilkan oleh lembaga penyiaran itu sendiri atau juga bisa oleh PH (Producton House) atau Rumah Produksi. Sedangkan, konten yg didistribusikan melalui platform UGC adalah konten hasil produk perseorangan atau Content Creator dan kemudian didistribusikan melalui platform UGC, meski banyak juga sekarang dibaliknya adalah Orang2 yg berpengalaman dalam dunia Broadcast sebelumnya, alias Ex Awak Media atau yg "nyambi" kerja disamping tugas kantornya.
Jika diteliti lebih jauh dalam pasal 34F ayat (2) RUU Penyiaran ini disebutkan bahwa penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau plarform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP) dan Standar Isi Siaran (SIS). Jelas ini YouTuber dan TikToker dianggap setara dgn Lembaga Penyiaran atau minimal PH siaran yg selama ini harus "memeriksa"-kan semua isi siaran sebelum ditayangkan atau disiarkan ke KPI lebih dahulu.
Tentu meskI verifikasi konten ini tetap ada tujuan baiknya guna menjaga isi YouTube dan TikTok agar tidak melanggar Aturan perundang2an yg berlaku, namun jika semua konten harus diverifikasi sebelumnya jelas akan berdampak pada kreativitas dan Keterbukaan informasi serta demokrasi yg sudah berjalan baik selama ini. Karena toh bilamana memang melanggar hukum, konten dalam YouTube dan TikTik bisa dilaporkan dan dijerat dgn UU ITE yg sudah ada, meski pelaporan tsb ada yg menganggap terlambat karena telanjur sudah Viral atau beredar luas sebelumnya.
Namun mau Aturan dan Hukum utk UGC di YouTube dan TikTok tsb diterapkan sesudahnya dgn UU ITE, sbgmn yg sudah berjalan baik selama ini, atau mau coba diterapkan sebelumnya dgn RUU Penyiaran tanpaknya bukan disitu masalahnya. Sebab Indonesia memang saat ini dirusak oleh perilaku Oknum2 dari Rezim ini yg sudah sedemikian bobroknya menabrak aturan yg sudah ada, misalnya soal keabsahan Ijazahnya. Sudah jelas sampai disidang Pengadilan saja masih berkelit dan mutar2 seperti Komidi Putar. Padahal kalau mau segera selesai sangat mudah, tinggal tunjukkan Ijazah aslinya akan selesai dan masalah tsb pasti selesai dgn sendirinya, tidak akan jadi konten terus menerus di YouTube atau TikTok.
Apabila kita menyitir Ucapan yg sempat disampaikan oleh Tokoh Pers, Media & Perfilman Alm Prof Salim Said yg barusaja wafat semalam, pernah saat bulan April 2019 Beliau berujar "Kenapa negara lain maju? Karena ada yg mereka takuti. Sedangkan di Indonesia, Tuhan pun tidak ditakuti ..." Sebuah statemen yg sangat benar & menohok, mengingat saat ini jangankan soal Etika, jelas2 sudah berkali2 melanggar hukum saja seseorang tetap tidak merasa bersalah apalagi mau mundur dgn sendirinya.
Baca Juga: Prof Salim Said, Tokoh Pers yang Meninggal di Tengah Revisi UU Penyiaran
Kesimpulannya, Revisi UU Penyiaran ini sarat dgn Upaya pengebirian Jurnalis, Media dan bahkan Content2 Creator dalam berkarya. Aturan2 yg sudah reformis dan demokratis semenjak 1999, pasca Reformasi 1998, tampak sekali mau dikembalikan ke era sebelumnya. Bahkan beberapa pengamat mengatakan "Lebih OrBa dari OrBa, alias OrBar kepanjangan dari Orde Barbar". Saya sekalilagi mengetuk hati dan pikiran waras dari Para Pakar dan Masyarakat, baik didunia Nyata maupun yg bergerak di dunia Maya, jangan Abai dgn kondisi yg sekarang terjadi, sebab jelas gambaran Mimpi Buruk sudah terbentang didepan mata. Indonesia Gemas, Cemas & Lemas 2045 yg akan terjadi, jelas bukan Emas ...
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement