Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Perempuan Pelopor Pertanian Organik dari Banggai

        Perempuan Pelopor Pertanian Organik dari Banggai Kredit Foto: Pertamina
        Warta Ekonomi, Banggai -

        Perempuan berusia 58 tahun itu bernama Indarti Winari. Dia adalah satu-satunya perempuan yang menjadi anggota dan pegiat kelompok pertanian organik Sumber Tani Lestari binaan JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi, di Desa Sumber Harjo, Kecamatan Moilong, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

        Sumber Tani Lestari terdiri atas 11 orang anggota yang mengelola sawah padi organik seluas kurang lebih lima hektare dan dibentuk pada 2016, menyusul pelatihan pertanian ramah lingkungan atau agroekologi oleh JOB Tomori. Suami Indarti, Markidi, adalah salah satu anggota kelompok tersebut semasa hidup.

        JOB Tomori memprakarsai program pertanian agroekologi ini karena melihat sejumlah fakta di lapangan, yakni penggunaan pupuk kimia berlebihan, hasil produksi padi konvensional rendah, tingginya penggunaan air irigasi, keterbatasan sarana produksi pertanian, tingginya biaya penanggulangan hama padi, keterbatasan sarana produksi pertanian, dan kelembagaan tani kurang optimal.

        Padahal Banggai memiliki potensi berupa 93 persen luas area pertanian dan perkebunan dan masyarakat yang bekerja sebagai petani. Total dari 23 kecamatan, luas padi sawah mencapai 51 621 hektare berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2019.

        Indarti awalnya sama sekali tak tahu soal pertanian organik. Almarhum suaminya tak banyak bercerita. "Saya waktu itu hanya matun (membersihkan rumput-rumput liar di areal persawahan) dan ngarit biasa," katanya.

        Kisah tentang agroekologi banyak didengar dari sang adik, Agus. "Saya katakan: Kak, ikut pertanian organik saja. Obat hamanya meracik sendiri," kata Agus kepada Indarti.

        Indarti pun memutuskan menggarap padi di sawah seperdelapan hektare secara organik. Satu anak laki-laki dan tiga anak perempuannya tak dilibatkan, karena memiliki kesibukan masing-masing. Ia lebih banyak berdiskusi dengan adiknya. Apalagi letak sawah mereka berdampingan. Dari sini, melihat pertanian organik banyak membawa keuntungan.

        "Biayanya sedikit, kerjanya ringan. Tidak perlu keluar uang untuk membeli obat kimia pembasmi hama. Obat pembasmi hama nabati dan pupuk bikin sendiri. Tidak usah beli," kata Indarti, senang.

        Ongkos menggarap sawah padi secara organik jauh lebih murah daripada pertanian konvensional. Harga padinya pun berbeda tajam. Padi biasa hanya dijual Rp 7 ribu per kilogram. Sementara padi organik bisa dijual dengan harga Rp 12 ribu per kilogram.

        Indarti pernah mengajak perempuan tani lainnya untuk bergabung ke kelompoknya dan menggarap sawah dengan prinsip-prinsip budidaya organik. Namun mereka belum berminat, karena kuantitas sawah konvensional masih jauh lebih bagus daripada sawah organik.

        "Waktu saya ngobrol itu, pertanian organik cuma menghasilkan sembilan zak padi dan pertanian konvensional bisa memproduksi 16-17 zak. Satu zaknya 56 kilogram," kata Indarti.

        Indarti percaya, ke depan para perempuan tani akan mau bergabung menggarap sawah secara organik. "Mereka mau ikut kalau jumlah hasilnya berimnbang. Insya Allah bakal imbang, karena jumlah panen padi organik meningkat terus," katanya.

        Agus membenarkan jumlah produksi sawah konvensional dan organik akan berimbang. "Sekarang saja sudah beda tipis. Selisihnya tinggal 4-5 sak. Petani lain yang pernah saya tawari mulai senyum-senyum," katanya.

        Jika Indarti berjuang menjadi salah satu perempuan penggerak pertanian ramah lingkungan di sawah, Sukesih bergerak di pekarangan. Istri Aklas, salah satu petani anggota kelompok Sumber Tani Lestari, ini memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk menanam sayur-mayur berbasis organik. Ada selada, sawi pakcoi, pare, ketimun, tomat, daun bawang, bawang merah, kangkung, dan beberapa sayur lagi yang ditanam di halaman rumah Sukesih.

        Sukesih membudidayakan sayur-sayuran itu dengan bahan-bahan yang ada. "Pupuk buatan Bapak (suami, Aklas, red) sendiri. Pestisida saya buat dari campuran sisa-sisa sampah organik seperti sayuran, daun bawang merah, daun bawang putih, lalu saya siramkan. Kalau di pakcoy ada ulat, saya kasih mati begitu saja," katanya. Saat ini tak banyak hama yang dihadapi di kebun. Hanya tersisa ulat bandel dalam jumlah sangat kecil dan mudah dimatikan.

        Sukesih mengaku semula hanya memenuhi hobi mendukung pertanian organik sang suami. Pupuk organik tak hanya digunakan untuk menyuburkan padi di sawah tapi juga sayur. Hasilnya, Sukesih merasakan hidupnya lebih sehat setelah mengonsumsi sayur organik. Ia tak lagi mudah terserang sakit kepala.

        "Kalau dulu saya sering sakit kepala. Setelah saya tanam sendiri, alhamdulillah, sudah rasakan sendiri manfaatnya. Sekarang saya sudah jarang beli sayur di pasar. Kalau dulu sakit kepala saya hampir setiap hari dan saya minum Paracetamol," kata Sukesih.

        Tak hanya memperoleh manfaat kesehatan, Sukesih juga memperoleh manfaat ekonomi. Sayur organiknya dicari banyak orang. Ada pemesan yang minta sayur itu diantar ke tempat mereka, dan ada yang datang sendiri. Para pemesan rata-rata kalangan rumah tangga dan pengelola kafe yang menjadikan sayurnya sebagai bahan campuran burger. Setiap bulan saat ramai pembeli, Sukesih bisa memperoleh tambahan uang paling sedikit Rp 3 juta.

        "Saya juga menjual pupuk organik." katanya.

        Saat ini, pandemi membuat jumlah pembeli berkurang. "Kafe yang sekarang kan banyak yang lagi sepi juga. Tapi tidak apa-apa. Saya menanam terus, menyemai terus. Kalau tidak ada yang pakai, ya pakai sendiri saja," kata Sukesih.

        Atma Agus Hermawan, Community Development Officer job tomori  JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi, menyebut keberadaan perempuan dan para istri dalam mendukung pertanian ramah lingkungan sangat penting. Ia pernah menemui fakta bagaimana pasangan suami-istri petani bisa berbeda pendapat soal penerapan pertanian organik.

        "Pertanian organik banyak tantangannya, termasuk dari keluarga sendiri," katanya.

        Ada istri yang tidak mau menyapa suaminya karena tak setuju sang suami menerapkan pertanian organik. Si istri menilai pertanian organik berisiko mengurangi pendapatan dibandingkan pertanian konvensional yang lebih menjanjikan hasil panen lebih banyak.

        "Tapi kemudian si istri mendukung, karena akhirnya merasakan hasilnya. Apalagi harga beras organik jauh melebih harga beras biasa," kata Atma.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: