Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kaleidoskop 2021 Jatuh Bangun Garuda Indonesia: Dari Rugi, Utang, Delisting, hingga Lawan Kepailitan

        Kaleidoskop 2021 Jatuh Bangun Garuda Indonesia: Dari Rugi, Utang, Delisting, hingga Lawan Kepailitan Kredit Foto: Antara/Muhammad Iqbal
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Tahun 2021 masih menjadi tahun yang berat bagi industri penerbangan Indonesia. Pembatasan mobilitas penduduk dalam rangka menanggulangi pandemi Covid-19 secara signifikan menekan jumlah penumpang angkutan udara dari 36,05 juta pada tahun 2020 menjadi diperkirakan hanya 28 juta penumpang pada tahun 2021 ini.

        Tantangan berat industri penerbangan turut dialami oleh maskapai BUMN, Garuda Indonesia sepanjang tahun 2021. Mulai dari merugi, terbelit utang, hingga harus berjuang melawan kepailitan. Simak selengkapnya dalam Kaleidoskop 2021 Jatuh Bangun Garuda Indonesia berikut ini.

        Garuda Indonesia Merugi

        Kendati berangsur membaik, penurunan jumlah penumpang pesawat masih berdampak signifikan terhadap kinerja keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Berdasarkan laporan keuangan periode kuartal ketiga 2021, Garuda Indonesia mengantongi total pendapatan senilai US$939,03 juta. Nilai tersebut menurun dari periode kuartal ketiga 2020 lalu yang mencapai US$1,14 miliar. 

        Akibatnya, kerugian yang ditanggung Garuda Indonesia bertambah besar dalam sembilan bulan pertama tahun 2021. Kerugian bersih Garuda Indonesia membengkak dari US$1,07 miliar per September 2020 menjadi US$1,66 miliar per September 2021.

        "Garuda Indonesia masih mencatatkan kerugian operasional yang disebabkan oleh struktur biaya Garuda Indonesia yang sebagian besar bersifat tetap/fixed, yang tidak sebanding dengan penurunan signifikan atas revenue Garuda Indonesia imbas kondisi pandemi Covid-19," ungkap manajemen Garuda Indonesia pada pertengahan November 2021 lalu.

        Pangkas Rute Penerbangan dan Kandangkan Pesawat

        Mempertimbangkan kondisi keuangan perusahaan, Garuda Indonesia memutuskan untuk menutup sebagian rute penerbangan pada pertengahan tahun 2021. Sejumlah rute penerbangan internasional yang ditutup sekitar Juli 2021 lalu di antaranya rute menuju Melbourne dan Perth, Australia. Selain itu, Garuda juga menutup rute menuju Osaka, Jepang.

        Tak berhenti sampai di sana, Garuda Indonesia akan melanjutkan aksi menutup sejumlah rute penerbangan pada tahun 2022 mendatang. Melalui keterbukaan informasi, manajemen Garuda menyebut ada 97 rute penerbangan yang akan tutup pada tahun 2022 mendatang. Hal itu dilakukan selain untuk menyehatkan kinerja Garuda, juga untuk mengoptimalkan rute penerbangan domestik.

        "Rute internasional yang diterbangkan oleh Garuda Indonesia merupakan selective routes yang dianggap dapat mengontribusikan profitability yang baik bagi Garuda Indonesia. Sesuai dengan rencana bisnis Perseroan, Garuda Indonesia akan berfokus pada rute domestik," tegasnya. 

        Selain memangkas rute penerbangan, jumlah armada pesawat Garuda Indonesia juga mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Pada Juni 2021, Garuda memiliki 6 pesawat milik sendiri dan 136 pesawat sewa sehingga totalnya menjadi 142 pesawat. Jumlah tersebut menurun menjadi 135 pesawat pada Agustus 2021 dengan rincian 6 pesawat milik sendiri dan 129 pesawat sewaan.

        Jumlah pesawat yang dimiliki Garuda kembali menurun. Sampai dengan saat ini, jumlah pesawat yang dimiliki garuda tersisa 125 armada. Enam pesawat di antaranya merupakan milik maskapai penerbangan BUMN ini, sedangkan 119 armada lainnya merupakan pesawat sewaan.

        Utang Menumpuk Hingga Ancaman Bangkrut

        Awal November 2021, Menteri BUMN, Erick Thohir, menyebutkan bahwa Garuda Indonesia menanggung utang senilai US$7 miliar atau setara dengan Rp100 triliun. Ia menyebutkan, jumlah utang Garuda yang terus menumpuk sebagian besar merupakan utang penyewaan pesawat (lessor). Erick Thohir pun mengaku upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah negosiasi dengan para lessor sebagai bagian dari restrukturasi Garuda.

        "Negosiasi utang-utang Garuda yang mencapai US$7 miliar karena leasing cost termahal yang mencapai 26%. Ini lagi dinegosiasikan dengan para lessor," kata Erick Thohir.

        Kondisi utang yang kian membesar sempat menyita perhatian publik. Maskapai pelat merah yang menyandang nama Indonesia ini pun dikabarkan berada di ambang kebangkrutan. Namun, manajemen bersama stakeholder yang berkaitan masih terus mengupayakan untuk menyelematkan Garuda Indonesia.

        Opsi Tutup Garuda dan Diganti Pelita Air

        Turbulensi kembali menghadang Garuda Indonesia. Sempat ramai dikabarkan bahwa ada opsi penutupan Garuda Indonesia karena banyak permasalahan yang membelitnya. Bersamaan dengan wacana penutupan Garuda Indonesia, nama Pelita Air muncul sebagai calon kuat pengganti Garuda. 

        Stafsus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, tak mengiyakan namun juga tak menampik adanya kabar tersebut. Ia berdalih, negosiasi dengan para lessor dan pihak-pihak yang memiliki piutang adalah fokus utama untuk menyelamatkan Garuda Indonesia.

        "Soal opsi mengenai Pelita (Air) itu nanti lah ya. Yang utama sebenarnya adalah kita sekarang berusaha, terus berjuang untuk bisa bernegosiasi dengan para lessor, pihak-pihak yang memiliki piutang dengan Garuda," tegasnya kepada wartawan beberapa waktu lalu.

        Hadapi Perkara PKPU

        Permasalahan yang tak kalah pelik juga dihadapi Garuda Indonesia, yakni perkara gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Salah satu gugatan PKPU yang mendera Garuda dimohonkan oleh PT Mitra Buana Koorporindo (MKB) pada akhir Oktobr 2021 lalu. Ia menuntut nilai gugatan sebesar Rp4,16 miliar kepada Garuda Indonesia. 

        Pengajuan permohonan PKPU tersebut dilatarbelakangi oleh dalil PT MBK bahwa Garuda belum menyelesaikan kewajiban usaha kepada MBK terkait dengan kerja sama pengadaan layanan sewa dan managed serivice end user computing domestik. 

        Berkenaan dengan permohonan tersebut, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia, Prasetio, menegaskan bahwa kegiatan operasional Garuda Indonesia tidak terpengaruh dan tetap berlangsung normal sampai dengan adanya ketetapan hukum atas PKPU tersebut. Pihak Garuda pun mengatakan tengah mempelajari permohonan PKPU yang diajukan tersebut dan akan memberikan tanggapan sesuai prosedur yang berlaku. 

        Potensi Delisting di Tengah Perjuangan Keluar dari Kepailitan

        Di tengah perjuangan Garuda Indonesia keluar dari kepailitan dan menyelesaikan perkara PKPU, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan potensi delisting saham GIAA dari pasar modal. Merujuk surat yang ditandatangani Kepala Divisi Penilaian Perusahaan 2 BEI, potensi Garuda angkat kaki dari pasar saham disebabkan oleh permasalahan suspensi yang berkepanjangan selama enam bulan. Diketahui, suspensi saham Garuda Indonesia akan mencapai 24 bulan pada 18 Juni 2023 mendatang.

        Selain itu, Bursa juga mempertimbangkan kondisi yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha Garuda Indonesia, baik secara finansial maupun hukum. Mengenai hal tersebut, manajemen menyampaikan bahwa Garuda akan memberikan perhatian penuh terhadap permasalahan suspensi dan potensi delisting.

        Garuda mengakui masih fokus melakukan upaya percepatan pemulihan kinerja melalui proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Hal itu diharapkan dapat memberi hasil yang baik dalam penyelesaian kewajiban usaha yang turut menjadi salah satu pertimbangan Bursa dalam melakukan delisting saham

        "Kami tengah fokus melakukan upaya terbaik dalam percepatan pemulihan kinerja melalui proses PKPU guna menghasilkan kesepakatan terbaik dalam penyelesaian kewajiban usaha sehingga nantinya saham Garuda dapat kembali diperdagangkan seperti sedia kala," ungkap Garuda.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Lestari Ningsih
        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: