Kabar mahalnya tarif dasar ongkos pengiriman barang lewat jalur laut atau disebut ocean freight pengusaha ekspor dan logistik di Jatim dianggap memberatkan. Bahkan, kondisi ini bisa dianggap ajang kesempatan bagi shipping line internasional dalam pengambilan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal itu ditegaskan langsung oleh Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jatim, Hengky Pratoko, di Surabaya, Rabu (19/1/2022).
Hengky menilai bahwa 2 tahun terakhir ini jasa pelayaran dan logistik menghadapi carut-marut. Akibatnya, perdagangan internasional tidak bersahabat, apalagi di masa pandemi.
Baca Juga: Umumkan Jajaran Komisaris Baru, Shipper Percepat Efisiensi Logistik Digital Indonesia
"Dengan pandemi ini, kami cukup menyayangkan movement atau gerakan yang dibuat mereka (shipping line internasional) karena mereka bukan lagi menjadi partner yang baik dengan memainkan tarif, seperti terjadi opportunist terhadap taking profit yang luar biasa tinggi," tegas Hengky.
Lebih lanjut Hengky membeberkan, isu soal kelangkaan kontainer juga disebabkan banyak kapal yang ditahan atau tidak dioperasikan. "Hal ini diduga menjadi upaya untuk mencari keuntungan setinggi-tingginya di masa pandemi ini. Mereka melakukan ini tidak hanya 1-3 bulan, bahkan bisa seterusnya," beber Hengky.
Sementara soal tarif Hengky menjelaskan, tarif freight dari Asia ke Eropa berkisar US$$11.900 FEU (Forthy Equivalent Unit) atau sudah turun dari sebelumnya US$23.000 FEU. Sementara, tarif rata-rata dari Indonesia ke Erpoa di US$25.000 FEU lebih tinggi dibandingkan tarif Asia ke Eropa.
"Tarif dari Indonesia ke Eropa yang masih tinggi ini dimanfaatkan oleh pelayaran kontainer asing yang baru-baru ini memasukkan Repositioning Empty Container 8.000 boks ke Jakarta dan Surabaya 400 boks," ujarnya.
Hengky mengatakan, tarif ocean freigth saat ini bahkan lebih tinggi dari awal pandemi. Dia mencontohkan, jika dulu tarifnya rata-rata hanya US$2.000 per TEUs kini naik menjadi 300-400 persen atau menjadi US$8.000-US$10.000 per TEUs.
"Tujuan yang lebih jauh naiknya lebih luar biasa, contoh ke Eropa semua hanya US$2.000 per TEUs sekarang menjadi US$25.000/TEUs. Ke Amerika Serikat lebih gila lagi naik sampai 800 persen," sambung Hengky.
Di sisi lain, Wakil Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Manufaktur, Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim, Ayu. S Rahayu, mengungkapkan, saat ini yang terjadi pelayaran internasional memberlakukan space kapal dengan skala kelas, dan yang paling tinggi kelas premium.
"Beberapa pelayaran memberlakukan space premium, kemudian itu harus tambah biaya baru dapat space, lalu memberlakukan aturan limit dengan rate berlapis, misalnya barang yang dikirim 15 ton itu biaya sekian, kalau lebih 15-17 ton itu rate-nya tambah US$1.000. Di atas 17-20 ton tambah lagi sehingga untuk komoditas tertentu, cost-nya bisa lebih tinggi lagi," kata Ayu.
Selain itu, kata Ayu, kondisi lain yang dialami para eksportir adalah adanya kenaikan tarif LoLo (lift on-lift off) atau kegiatan bongkar muat kargo dari truk kontainer ke kapal dan sebaliknya, termasuk cancellation cargo atau pembatalan pengiriman akan dikenakan penalti dengan biaya tinggi.
"Kenaikan LoLo juga sudah naik dua kali lipat, jadi dari segala unsur kegiatan ekspor yang berurusan dengan shipping line, bukan hanya depo, LoLo, tapi juga aturan penalti yang dulunya tidak setinggi sekarang yang ujung-ujungnya adalah duit," imbuhnya.
Ketua GPEI Jatim, Isdarmawan Asrikan, menambahkan seharusnya kinerja ekspor Jatim bisa lebih tinggi dengan kenaikan 25 persen jika situasinya normal atau tidak ada kenaikan ocean freight.
"Kalau situasi normal, saya prediksi kinerja ekspor kita bisa tumbuh 25 persen, tapi karena masalah ocean freigt itu, ekspor kita 2021 cuma tumbuh 16,59 persen, ditambah lagi kondisi ini membuat harga barang kita tidak kompetitif lagi," ujar Isdarmawan.
Isdarmawan menceritakan, saat ini eksportir hanya bisa melakukan negosiasi terhadap buyer. Mengenai tarif ocean freigt tersebut, jalan tengahnya melalui sharing biaya pengiriman. Jika tidak ditemukan solusi, biasanya buyer akan membatalkan order.
Isdarmawan dan ALFI meminta pada pemerintah agar melakukan pendekatan dan berkomunikasi dengan prinsipal pelayaran dan memberikan warning dan melakukan blacklist terhadap pelayaran asing yang tidak kooperatif dan aji mumpung terhadap pengusaha Indonesia.
"Seharusnya pemerintah bergandengan tangan misalnya dengan masyarakat ekonomi Eropa, serta melaporkan ke WTO sebab dalam perdagangan tidak mengatur tentang komoditas saja, tetapi juga termasuk bidang jasa, termasuk jasa pelayaran ini," pungkas Isdarmawan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Mochamad Ali Topan
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: