Melonjaknya harga Crude Palm Oil (CPO) dunia dinilai menjadi salah satu cara untuk dapat menjatuhkan usaha sawit Indonesia.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Sahat Sinaga mengatakan, untuk menghindari kondisi ini berlanjut maka Indonesia harus membuat regulasi tersendiri agar harga CPO tidak mengikuti pasar global.
Baca Juga: Harga Referensi BK CPO Februari 2022 Meningkat, Ini Penyebabnya
"Saya sangat sepakat harga di dalam negeri kita buat regulasi dan bisa tidak mengikuti harga ekspor yang mahal, karena saya menduga ini ada usaha menjerumuskan sawit dari pemain global," ujar Sahat saat dikonfirmasi WartaEkonomi, Senin (31/1/2022).
Sahat mengatakan, ini menjadi serangan ketiga bagi industri sawit nasional. Serangan pertama terjadi pada tahun 1978 oleh Amerika Serikat akibat soyabean buatannya tidak mampu bersaing dengan minyak kelapa sawit.
Ia menjelaskan kala itu Amerika Serikat menggungkapkan bahwa sawit tidak sehat bagi tubuh manusia.
"Hal berakhir karena ada periset dari Amerika yang mengakui bahwa sawit itu sehat. Tahun 2003-2004 Eropa mulai menggelontorkan green energy merek produsen rapeseed oil harganya tidak mampu bersaing dengan sawit kira-kira 200 dollar bedanya dan mereka lebih mahal. Semua industri energi di Eropa memborong sawit karena mereka tidak bisa bersaing dengan harga, akhirnya mereka membuat isu deforestation," jelasnya.
Sahat melanjutkan setelah isu deforestation yang hampir 19 tahun tidak membuat sawit kalah, maka pada akhir 2021 mereka membuat harga tinggi yang akan jadi racun bagi para petani sawit.
Pasalnya dengan harga sawit tinggi membuat petani akan terlena dan tidak mampu memproduksi sawit dengan maksimal.
"Kenapa racun, petani kita yang memang mereka tau dengan tingkat pendidikan ini, tidak usah repot-repot dengan 5 ton saja kebun menghasilkan dalam setahun sudah senang karena harga tinggi," paparnya.
Jika hal tersebut terus terjadi, maka bisa dipastikan industri sawit juga akan terpuruk seperti industri karet yang kalah dengan teknologi sintetic ruber. Hal tersebut berawal dari tingginya harga karet yang membuat ilmuan mencari kimia yang berkarakter mirip dan dijual dengan harga rendah.
"Ini sawit juga bisa begitu yang membuat petani kita tidak melihat lagi produktifitas. Harga tinggi men-trigger orang untuk mengembangkan sintetic palm oil, maka sistentic palm oil nanti harganya dibanting rendah, kalau sudah rendah sama dengan karet dan kita bisa mati," tegasnya.
Melihat hal tersebut, Sahat menegaskan Indonesia harus memiliki kebijakan sendiri dan ia sepakat dengan menurunkan harga minyak sawit di dalam negeri jauh lebih rendah.
"Jangan dipengaruhi pasar luar negeri supaya masyarakat kita bisa menjangkau," ujar Sahat.
Selain itu, pemerintah bersama-sama dengan pengusaha juga harus bisa mengubah konsumsi sawit nasional. Hal tersebut diperlukan karena saat ini ekspor sawit Indonesia telah mencangkup 65 persen dari keseluruhan produksi.
Sementara untuk konsumsi domestik hanya 35 persen, untuk itu harus diubah pola konsumsi tersebut agar Indonesia jadi penentu harga bukan mengikuti alur harga dunia.
"Yang kedua strateginya adalah bagaimana konsumsi sawit kita itu dirubah, sekarang ekspor kita 65 persen domestik 35 persen, itu kita rubah 60 persen domestik 40 ekspor. Dengan begitu kita yang price leader kita yang menentukan harga tidak lagi pasar luar negeri," tegasnya.
Jika hal tersebut dapat berjalan dengan lancar, maka dapat dipastikan industri-industri akan berbondong-bondong datang ke indonesia yang akan berdampak terhadap meningkatnya konsumsi CPO domestik.
"Jadi dalam rangka jangka panjang, saya mengusulkan agar harga tetap begitu supaya industri di luar bisa masuk ke sini sehingga kita kontrol market-nya. pertama untuk masyarakat berpenghasilan rendah, kedua menarik investor, kalau harganya lebih murah ngapain mereka bikin lagi di Eropa oleochemical," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Alfi Dinilhaq