Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Karena Alasan Ini, Indonesia Dorong Isu Transisi Energi Jadi Fokus Presidensi G20

        Karena Alasan Ini, Indonesia Dorong Isu Transisi Energi Jadi Fokus Presidensi G20 Kredit Foto: Fajar Sulaiman
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sebagai tuan rumah konferensi dan pemegang presidensi G20 pada 2022, Indonesia memiliki kesempatan untuk membangun momentum internasional dalam transisi energi menuju masa depan energi yang berkelanjutan.

        Itulah sebabnya Indonesia mengangkat transisi energi sebagai salah satu dari tiga isu yang menjadi prioritasnya dalam memegang presidensi G20 tahun ini.

        Baca Juga: Presidensi G20: Antisipasi Dampak Exit Strategy terhadap Aliran Modal Emerging Market

        Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar dalam sebuah diskusi virtual pada Januari mengatakan bahwa Indonesia menempatkan isu transisi energi sebagai sektor prioritas dalam Presidensi G20 karena menilai pembahasan mengenai transisi energi menuju energi hijau sangatlah penting.

        Dia juga mengatakan bahwa pemilihan isu transisi energi itu mencerminkan pandangan serta perspektif Indonesia sebagai negara berkembang dan negara kepulauan yang sangat terdampak oleh perubahan iklim.

        Masalah perubahan iklim saat ini memang salah satu persoalan utama yang memerlukan peningkatan koordinasi global dalam penanganannya, di samping masalah lain seperti pemulihan kesehatan dan ekonomi global, kata pengamat ekonomi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri.

        Menurut Yose, kelompok 20 negara ekonomi terbesar dunia (G20) bisa menjadi pendorong lebih jauh dalam upaya global untuk menangani perubahan iklim walaupun sudah ada forum internasional tersendiri yang khusus membahas isu perubahan iklim.

        Faktanya, negara-negara G20 telah membuat komitmen emisi nol bersih, termasuk Rusia, Arab Saudi, dan Indonesia. Argentina sekarang adalah satu-satunya negara G20 yang belum menyatakan janji emisi nol bersih.

        "G20 bisa menjadi pendorong lebih jauh untuk upaya penanganan masalah perubahan iklim ini," kata dia.

        Selain itu, dalam forum G20, Indonesia memiliki kesempatan baik karena menjadi negara berkembang pertama yang memimpin perkumpulan negara-negara yang akan berdampak pada kebijakan ekonomi dan sosial secara global.

        Untuk itu, kata Yose, pembahasan isu perubahan iklim termasuk tentang transisi energi hijau di G20 tentu akan bisa menggali lebih banyak lagi masukan soal kepentingan atau narasi yang datang dari negara-negara berkembang.

        Hal itu tentu saja sejalan dengan keinginan Indonesia yang telah menyatakan akan lebih membawa kepentingan negara-negara berkembang dalam presidensinya di G20.

        "Karena mungkin pandangan dari negara berkembang agak berbeda dengan apa yang selama ini diusung oleh negara-negara maju, terutama Uni Eropa yang memang terdepan dalam isu-isu ini. Jadi Indonesia juga harus bisa mengangkat narasi yang datang dari negara berkembang," ujar Yose.

        Oleh karena itu, dia juga menekankan pentingnya bagi Indonesia untuk menyuarakan aspirasi dari negara-negara berkembang mengenai transisi energi yang menjadi salah satu prioritas pada presidensi G20 tahun ini.

        Dalam hal itu, Indonesia memiliki kesempatan untuk menarik dukungan internasional, terutama dari negara-negara maju, agar membantu mengembangkan program transisi energi melalui dukungan modal maupun alih teknologi untuk negara-negara berkembang.

        Dengan demikian, Indonesia juga memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia mengenai dukungan penuhnya terhadap transisi energi global.

        Capaian Transisi Energi Dalam hal capaian transisi energi menuju energi hijau dan energi baru terbarukan (EBT), Indonesia telah membuat beberapa kemajuan, salah satunya saat pemerintah Indonesia di COP26 menyetujui elemen-elemen dalam Pernyataan Global Transisi Energi Batu Bara ke Energi Bersih.

        Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti kemungkinan penghentian penggunaan batu bara di Indonesia pada 2040, dengan dukungan internasional yang tepat.

        Pada COP 26, Indonesia juga berkomitmen untuk mengurangi pembangkit listrik tenaga batu bara dan menghapuskan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien secara bertahap.

        Berdasarkan laporan tentang Prospek Transisi Energi Indonesia 2022 yang disampaikan oleh sebuah wadah pemikir di bidang energi dan lingkungan Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia membuat terobosan di sektor ketenagalistrikan saat bergabung dengan Filipina dan Vietnam dalam Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM) Asian Development Bank (ADB).

        Di bawah skema ETM, setidaknya sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan kapasitas 9,2 gigawatt (GW) di Indonesia sampai saat ini telah diidentifikasi untuk pensiun dini. Proyek percontohan penghentian operasi di tiga PLTU batu bara dengan total kapasitas 1,77 GW diharapkan dapat dimulai pada 2022-2023.

        Selain itu, laporan IESR itu menyebutkan sejauh ini ada 13 bank di Indonesia yang telah bergabung dalam inisiatif keuangan berkelanjutan Indonesia (IKBI). Pada kuartal I 2021, empat bank yang menjadi anggota IKBI telah mengucurkan total Rp30 triliun untuk proyek-proyek energi terbarukan. Pada ranah kebijakan dan peraturan, tanda kemajuan yang menggembirakan terlihat.

        Kebijakan dan peraturan utama terkait transisi energi dan penanganan perubahan iklim diperbarui dan ditingkatkan, seperti target pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditentukan secara nasional (NDC), Strategi Jangka Panjang Indonesia untuk Ketahanan Karbon dan Iklim (LTS-LCCR), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

        Selanjutnya, IESR juga menyebutkan bahwa partisipasi sektor swasta Indonesia dalam aksi penanganan perubahan iklim telah meningkat dengan sekitar enam perusahaan lokal Indonesia memiliki target emisi nol bersih.

        Empat dari enam perusahaan yang menetapkan target tersebut merupakan perusahaan bahan bakar fosil, dan dua di antaranya adalah perusahaan pertambangan batu bara. Tren positif di Indonesia itu, menurut IESR, melambangkan era baru di mana perusahaan bahan bakar fosil mulai beralih dari bahan bakar fosil dan mendiversifikasi bisnis mereka ke teknologi bersih.

        Secara keseluruhan, IESR menilai bahwa kesiapan sektor ketenagalistrikan Indonesia untuk beralih dari bahan bakar fosil dan menuju energi terbarukan semakin meningkat, meskipun beberapa aspek masih memerlukan perbaikan besar.

        Lembaga think-tank itu juga menilai bahwa tahun 2022 menjanjikan prospek yang lebih baik untuk transisi energi di Indonesia, dengan pemerintah menetapkan komitmen baru yang lebih kuat untuk aksi iklim dan transisi energi pada 2021.

        Dengan semua kemajuan upaya transisi energi di dalam negeri serta upaya menyuarakan aspirasi dari negara-negara berkembang, presidensi G20 Indonesia kali ini diharapkan dapat membantu dalam mendorong akselerasi upaya global untuk transisi energi menuju energi hijau dan berkelanjutan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: