Usulan pengunduran pemilu 2024 mengemuka. Hal itu berimbas pada munculnya wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.
Menurut Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Melchias Marcus Mekeng, pembahasan mengenai wacana tersebut harus melibatkan semua parpol di parlemen. Alasannya karena persoalan tersebut terkait dengan konstitusi.
Baca Juga: Prabowo Ingin Menang di Pilpres 2024? Silakan Gandeng Sosok Ini
"Tentu harus melibatkan semua parpol di parlemen dan unsur DPD RI. Bagaimana sikap PDIP, Gerindra, PKB, Nasdem, Demokrat, PAN, PPP, PKS dan DPD RI. Golkar siap membahas sesuai mekanisme konstitusi,” kata Mekeng kepada wartawan, Jumat, 25 Februari 2022.
Mekeng menuturkan Partai Golkar akan mengkaji serius wacana perpanjangan masa jabatan presiden itu. Dia menilai masalah tersebut bukan hal yang tabu untuk dibicarakan.
“Yang tidak bisa diubah hanya kitab suci. Di luar itu, semua bisa diubah, asal melalui mekanisme konstitusi,” katanya lagi.
Dia menyampaikan keinginan memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi karena adanya permintaan masyarakat baik disampaikan ke Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto maupun kepada anggota DPR dari Fraksi PG.
Sebagai partai politik yang memperjuangkan aspirasi masyarakat, lanjut dia, Golkar harus merespons permintaan tersebut.
Mekeng menambahkan yang paling penting dari ide perpanjangan jabatan Jokowi adalah dari sisi ekonomi. Menurutnya, ekonomi Indonesia akan terganggu atau defisit semakin dalam jika tahun 2024 dilaksanakan pemilu.
Baca Juga: Giliran PAN yang Setuju Pemilu 2024 Diundur, Ini Alasannya
Padahal ekonomi Indonesia saat ini saja belum berjalan normal dan defisit anggaran masih tinggi. Menurut anggota Komisi XI DPR itu, mulai tahun 2023 ini, defisit APBN tidak boleh lebih dari 3 persen. Artinya, defisit anggaran negara kembali ke aturan UU keuangan negara yaitu berada dibawah 3 persen.
Selama pandemi COVID-19, defisit anggaran dibolehkan berada di atas 3 persen. Pembiayaan negara juga banyak ditopang oleh utang. Tahun 2021, utang negara mencapai Rp1.100 triliun. Tahun 2022 ini sedikit berkurang karena ekonomi sudah mulai membaik yaitu Rp600 triliun. Sementara tahun 2023, sudah tidak boleh utang lagi.
“Kalau sudah tidak boleh utang lagi, maka pemerintah harus jeli mencari penerimaan negara. Artinya, penerimaan pajak harus meningkat, investasi harus meningkat, Produk Domestik Bruto (PDB) harus naik. Kita tahu selama COVID-19, pembiayaan negara lebih banyak ditopang oleh utang karena penerimaan negara berkurang. Nanti kalau sudah ada hiruk-pikuk Pemilu 2024, bagaimana meningkatkan penerimaan negara. Pasti tersendat. Ini bahaya,” kata Mekeng.
Ia menegaskan dalam kondisi penerimaan negara yang kurang dan utang tidak boleh, negara dituntut untuk mengurangi angka kemiskinan. Di sisi lain, berbagai bantuan yang ada selama ini seperti bansos, dan PKH, tidak boleh langsung berhenti.
Karena berbagai bantuan tersebut untuk menjaga masyarakat tidak jatuh miskin. Selain itu untuk menjaga daya beli masyarakat agar roda ekonomi tetap jalan.
“Jika utang tidak boleh dan semua bantuan ditarik karena menjelang pemilu, bagaimana ekonomi bisa bergerak. Ekonomi bisa tambah hancur kalau semua itu ditarik,” kata Mekeng.
Apalagi, lanjut Mekeng, saat pemilu investasi hampir tidak ada karena pengusaha dalam posisi wait and see. Mereka menunggu even politik selesai. Di sisi lain, biaya untuk pemilu cukup besar yaitu mencapai Rp 100 triliun dan harus dipenuhi negara.
Dari mana pemerintah mendapatkan dana itu sementara sumber-sumber penerimaan negara berkurang karena COVID-19. Ditambah lagi UMKM harus tetap berjalan. Selama COVID-19, banyak UMKM disubsidi.
Tujuannya agar mereka bisa bertahan karena UMKM sebagai penopang utama ekonomi Indonesia saat ini.
“Kalau semua berhenti karena pemilu, kan bahaya. Ekonomi akan lumpuh. Makanya wacana perpanjangan masa jabatan itu realistis dan rasional,” tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Adrial Akbar