Indonesian Politics Research and Consulting (IPRC) memandang ada tiga skenario dikeluarkannya Peraturan Menteri Kerja Nomor 2 Tahun 2022, yang didalamnya mencantumkan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dilakukan saat usia 56 tahun. Hal ini yang sempat menimbulkan polemik di masyarakat, utamanya para pekerja.
Direktur Riset IPRC Leo Agustino mengatakan, skenario pertama adalah BPJS Ketenagakerjaan tengah kekurangan dana atau ilikuid, sehingga memerlukan waktu untuk mencairkan manfaat hari tua. Dengan demikian, tersedia cukup dana yang terakumulasi di BPJS Ketenagakerjaan.
“Kinerja keuangan BPJS Ketenagakerjaan saat ini baik. Dapat dilihat dari posisi keuangan dan realisasi kelolaan dana dalam investasi,” kata Leo, dalam diskusi 'Menakar Urgensi Penerbitan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022: JHT & JKP Masalah atau Solusi?' di Bandung, Jumat sore (25/2/2022).
Baca Juga: Warganet Geruduk Cuitan Jokowi soal Perang Rusia-Ukraina: Urus Dulu Minyak Goreng, Tahu-Tempe, JHT!
Berdasarkan data yang diperoleh, Total Dana Iuran (2021) sebesar Rp372,5 triliun. Rata-rata Imbal Hasil Investasi sebesar 6 persen/tahun. Besaran Imbal Hasil Tahun 2021 adalah Rp24 triliun, iuran JHT (Rp51 triliun), pembayaran klaim (Rp37 triliun).
Sementara distribusi investasi dari Surat Hutang Negara dan Surat Berharga sebesar 65 persen, deposito (15 persen), saham (12,5 persen), reksa dana (7 persen), dan investasi langsung (0,5 persen).
“Dengan profiling keuangan seperti itu, BPJS Ketenagakerjaan (JHT) jauh dari kondisi ilikuid. Artinya, kinerja keuangannya aman untuk membayar klaim manfaat bagi peserta, sehingga skenario BPJS Ketenagakerjaan dalam kondisi kekurangan dana menjadi tidak terbukti,” jelasnya
Skenario kedua, diutarakan olehnya adalah untuk memenuhi kebutuhan fiskal pemerintah dimasa mendatang. Leo menerangkan, jika pemerintah memerlukan dana untuk pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19.
“Salah satu sumber dana pemerintah adalah dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Pencairan manfaat dana JHT di usia 56 tahun pada akhirnya akan mengakumulasi dana iuran pekerja, karena BPJS dapat menahan dana iuran dalam waktu yang cukup lama,” ungkapnya.
Disisi lain, BPJS Ketenagakerjaan diwajibkan mengelola dananya melalui instrumen investasi, salah satunya adalah dalam SUN dengan ketentuan minimal 50 persen sesuai PP Nomor 99 Tahun 2013. Dengan demikian terdapat peluang bagi pemerintah mengeluarkan SUN yang akan dibeli oleh BPJS Ketenagakerjaan sebagai sumber dana pemerintah.
“SUN yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah instrumen investasi yang banyak diminati oleh investor, sehingga pemerintah tidak perlu mengandalkan pembelian SUN dari BPJS Ketenagakerjaan. Artinya dikeluarkannya Permenaker 2 Tahun 2022 dipastikan bukan karena adanya kebutuhan pemerintah terhadap sumber dana,” jelasnya.
Sedangkan skenario ketiga adalah sinkronisasi regulasi jaminan sosial ketenagakerjaan, yakni Pasal 35 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, PP No 46/2015 dan PP 60/2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Hari Tua BAB IV Pasal 22 (JHT dibayarkan di usia 56 tahun). Permenaker 19/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua BAB II Pasal 3,4,5 (dapat dibayarkan dengan masa tunggu 1 bulan), Permenaker 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua BAB II Pasal 5 (Pembayaran dilakukan pada usia 56 tahun).
“PP Nomor 2 Tahun 2022 sebagai upaya mensinkronisasi regulasi tentang jaminan sosial ketenagakerjaan yang sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015,” katanya.
IPRC menilai, pemerintah kurang sensitif terhadap persoalan tenaga kerja saat ini. Terlebih, ada ribuan tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat mengharapkan dana JHT dapat digunakan ditengah-tengah kesulitan ekonomi mereka. Alih-alih menambah stimulus ekonomi, pemerintah justru menunda hak tenaga kerja untuk mendapatkan dana JHT.
“Dalam situasi sekarang ini pemerintah harusnya bersikap sebaliknya dengan memberi kemudahan para pekerja untuk menerima manfaat JHT saat ini,” ucap Leo.
Niat baik pemerintah untuk mensinkronisasi regulasi jaminan sosial ketenagakerjaan menjadi kontra produktif dengan realitas dimana ribuan tenaga kerja terkena PHK dan membutuhkan dana untuk memulai kehidupan baru.
Upaya pemerintah mengeluarkan PP 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan Permenaker 15/2021 tentang Tata Cara Pemberian Manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan adalah sebuah terobosan baik.
“Namun boleh jadi ini digunakan oleh pemerintah sebagai kompensasi atas pemberlakuan Permenaker 2/2022,” ujarnya.
Di kesempatan sama, peneliti senior IPRC, Feri Kurniawan memandang Feri Kurniawan BPJS Ketenagakerjaan tidak tengah dalam kondisi kekurangan dana. Hal itu ditinjau dari data yang diperoleh pihaknya.
“Persentase SUN lebih besar, faktanya investasi aman, SUN tidak pernah kekurangan pembeli. Ini juga bukan kebutuhan untuk menutup kekurangan kas negara,” kata Feri.
Dia melihat skenario ketiga lebih memungkinkan yang menjadi alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. Permenaker 2/2022, dijelaskan Feri, membatalkan Permenaker 19/2015 yang juga sempat ditentang oleh para buruh dan pekerja.
“Saya menyimpulkan ini merupakan upaya pemerintah untuk melakukan sinkronisasi. Hanya saja ini dilematis, karena kurang tepat momentumnya,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Fajria Anindya Utami