Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Polemik Minyak Goreng Makin Pelik, PKS Sentil Kebijakan Amatiran Pemerintah

        Polemik Minyak Goreng Makin Pelik, PKS Sentil Kebijakan Amatiran Pemerintah Kredit Foto: Instagram/Mulyanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kebijakan pemerintah menaikan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah sebesar Rp14.000 ribu per liter dan melepas harga minyak goreng dalam kemasan pada mekanisme pasar dinilai anggota DPR RI, Mulyanto, sebagai pilihan kebijakan yang amatiran.

        Mulyanto menyebut dalam membuat kebijakan terkait minyak goreng ini pemerintah terkesan trial and error. Akibatnya kebijakan gampang berubah ketika menghadapi tekanan dari pihak tertentu.

        Baca Juga: Cuma Kecewa Soal Minyak Goreng, Susi Pudjiastuti Hajar DPR: Anda yang Paling Bertanggung Jawab!

        Harusnya, kata Mulyanto, sebuah kebijakan dibuat berdasarkan berdasarkan riset (research based policy) atau berdasarkan contoh praktik terbaik di negara lain. Bukan kebijakan bongkar-pasang dan gonta-ganti, yang coba-coba. Tujuannya agar ada kepastian hukum dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat.

        "Masyarakat sudah capek sekian bulan diombang-ambingkan oleh kebijakan minyak goreng pemerintah yang tidak jelas, yang banyak berteori, berwacana dan obral janji, namun malah berujung kelangkaan," kata Mulyanto.

        Sebelumnya Presiden Jokowi berjanji kebijakan yang telah diambilnya baru akan dievaluasi bulan Mei 2022. Menteri Perdagangan juga berjanji untuk tidak mencabut HET. Tapi nyatanya baru pertengahan Maret, kebijakan migor sudah dicabut.  

        "Menjilat ludah sendiri. Ini kan tidak konsisten," sindir Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.

        Mulyanto mendesak Pemerintah merancang kebijakan terbaru migor curah bersubsidi dengan HET Rp. 14 ribu secara benar. Agar kebijakan itu benar-benar dapat dilaksanakan dengan seksama. Baik terkait dengan skema subsidi maupun sistem pengawasannya.

        Menurut Mulyanto, dengan sistem penjualan terbuka maka peluang bagi penyimpangan migor curah bersubsidi ini tetap ada.Paling tidak ada tiga peluang penyimpangan tersebut, yakni larinya migor curah bersubsidi rumah tangga ke industri baik makanan, minuman maupun perhotelan.  

        Atau migor curah bersubsidi ini disimpangkan untuk disaring ulang dan dikemas menjadi migor kemasan.  Kemungkinan lain adalah beralihnya konsumen migor premium kepada migor curah bersubsidi.  

        Baca Juga: Ibu-ibu Se-Indonesia Rebutan Buat Minyak Goreng, Eh Megawati Malah Bilang Begini

        "Kalau penyimpangan ini terjadi maka migor curah bersubsidi akan kembali langka," ungkap Mulyanto.

        Untuk diketahui berdasarkan data Kemenperin, kebutuhan minyak goreng sawit nasional pada 2021 sebesar 5,07 juta ton. Jumlah tersebut terdiri dari kebutuhan curah industri sebesar 32 persen; migor curah rumah tangga sebesar 42 persen; dan migor kemasan sebanyak 26 persen.

        Artinya kebutuhan untuk migor curah rumah tangga ini adalah yang terbesar dibandingkan dengan migor curah industri atau migor kemasan.

        "Pemerintah harus membangun sistem pengawasan yang andal, agar migor curah rumah tangga ini tidak lari menjadi migor industri atau migor kemasan," tandas Mulyanto.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: