Sayangkan Aksi Pengeroyokan Ade Armando, Din Syamsuddin: Esensi Demonya Tenggelam
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyayangkan aksi kekerasan saat unjuk rasa Jakarta. Terlebih, aksi ini berlangsung saat proses penyampaian aspirasi. Imbasnya, esensi dan tujuan unjuk rasa justru tak tersampaikan.
Pernyataan ini untuk mengomentari penganiayaan dengan korban Ade Armando. Dalam video yang beredar, terlihat Dosen Universitas Indonesia tersebut mendapatkan kekerasan fisik. Pelakunya sejumlah oknum peserta unjuk rasa.
Baca Juga: Ade Armando Dipukuli Massa, Reaksi Netizen Miris-Miris Banget!
"Saya penganut aliran nir kekerasan, oleh siapapun. Baik oleh rakyat berunjuk rasa maupun oleh aparat keamanan," jelasnya saat ditemui di Masjid Kampus UGM Yogjakarta, Selasa malam (12/4).
Menurutnya, kasus Ade Armando bisa dicegah. Terlebih, sosok ini adalah figur yang kontroversial. Ditambah lagi kedatangan dalam aksi demo yang massanya kerap berseberangan. Dia mempertanyakan peran polisi yang lalai melakukan upaya antisipasi. Setidaknya, dengan tidak mengizinkan Ade masuk dalam kelompok massa sehingga tindakan penganiayaan bisa dicegah secara dini.
"Kasus Ade Armando seharusnya bisa diantisipasi. Dia figur yang kontroversial yang berada ada pada pikiran seberang dengan yang mahasiswa berdemo," katanya.
Imbas dari kejadian ini adalah tenggelamnya esensi aksi unjuk rasa. Nilai-nilai tuntutan tidak terekspos secara maksimal. Ini karena tergantikan dengan kasus penganiyaan Ade Armando.
"Saya lihat hari ini koran mengemukakan apa aspirasi mahasiswa. Tapi kasus Ade Armando yang menghiasi headline di tv maupun media sosial. Kejadian seperti kemarin ya, apa ya esensi demonya menjadi tenggelam," ujarnya.
Terlepas dari kasus penganiayaan, Din menilai aksi unjuk rasa mahasiswa sudah tepat. Merupakan wujud implementasi kebebasan berpendapat dan ekspresi. Termasuk, menyuarakan keresahan atas kebijakan pemerintah.
Dia menilai munculnya mahasiswa sebagai bukti keadaan mulai mendesak sehingga terjadi rentetan sejumlah aksi unjuk rasa di berbagai wilayah. Langkah selanjutnya adalah peran pemerintah maupun pejabat negara untuk merespons dengan sebuah kebijakan.
"Saya berpendapat demokrasi atau unjuk rasa itu adalah ritual demokrasi yang dalam konteks Indonesia dijamin oleh konstitusi. Khususnya Pasal 28 tentang adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Saya melihatnya sebagai sesuatu yang bukan hanya wajar, tapi memang mendesak," katanya.
Dia membandingkan aksi unjuk rasa di luar negeri. Walau peserta aksi hanya 5 hingga 10 orang, tetapi aspirasi tersampaikan. Sementara di Indonesia, dengan jumlah peserta aksi ribuan justru sebaliknya.
"Kita ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu nggak didengar, tapi nyaris menjadi sebuah konflik politik. Lembaga perwakilan rakyat seperti DPR kita memang tidak terdengar membicarakan menyuarakan itu. Nah, oleh karena itu sangat-sangat wajar adanya ekpresi demokrasi oleh mahasiswa," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: