Fenomena ledakan gelembung atau bubble burst perusahaan rintisan (startup) kini sedang jadi perbincangan hangat di mana-mana lantaran banyaknya startup yang melakukan PHK massal terhadap keryawannya. Namun apa sebenarnya arti dari bubble burst startup?
Bubble burst merupakan sebuah fenomena pertumbuhan ekonomi atau nilai pasar naik sangat cepat, khususnya harga aset namun diikuti oleh penurunan nilai yang cepat atau kontraksi. Pada umumnya gelembung yang disebabkan lonjakan harga aset didorong oleh perilaku pasar yang tinggi.
Salah satu Ekonom serta Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda mengatakan salah satu sumber masalah dari bubble burst adalah terkait pendanaan, di mana startup-startup masih butuh pendanaan untuk bisa beroperasional.
Baca Juga: Perusahaan Investasi Asal Malaysia Guyur Startup Media Sosial Hyppe dengan Dana US$10 Juta
Ia menjelaskan ketika gagal mendapatkan pendanaan, biasanya perusahaan akan kelimpungan hingga tidak bisa beroperasi secara normal.
“Makanya ketika gagal mendapatkan pendanaan, biasanya mereka akan kelimpungan hingga tidak bisa beroperasi secara normal, makanya mereka biasanya melakukan layoff kepada karyawannya untuk menghemat budget. Model utama mereka yang masih bakar uang memang menjadikan mereka masih ketergantungan dengan pendanaan dari Venture Capital atau sumber pendanaan lainnya,” katanya saat dihubungi Warta Ekonomi beberapa waktu yang lalu.
Ia juga mengungkapkan startup di Indonesia tumbuh sangat cepat pada beberapa tahun terakhir dengan peringkat jumlah startup di Indonesia adalah nomor lima dunia. Dan terjadilah peningkatan pertumbuhan cukup tajam dalam hal jumlah startup.
"Namun, permasalahan di tahun ini adalah potensi pendanaan yang semakin sedikit. Jika kita mengacu pada data dealroom, pendanaan pada tahun ini akan turun jauh dibandingkan tahun depan," ujarnya.
Sejalan dengan itu, berdasarkan pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi menyatakan bubble startup didorong fakta sulitnya mencari pendanaan saat ini. Sedangkan untuk memperoleh pengguna rata-rata startup wajib melaksanakan bakar uang.
“Pendanaan juga sulit untuk layanan yang sudah melewati fase pertumbuhan seperti e-commerce, pembayaran digital, travel dan edukasi, digantikan dengan arah baru startup yang mengusung kecerdasan buatan, big data analytic, internet of things, maupun metaverse," jelasnya.
Nailul selanjutnya menambahkan saat ini memang harus mulai memikirkan untuk keluar dari jebakan bakar duit. Kemudian juga harus pintar mencari perusahaan Venture Capital yang dipercaya oleh beberapa perusahaan besar sehingga Venture Capital lainnya tertarik untuk memberikan pendanaan lanjutan.
“Saya khawatir kalau semakin sedikit pendanaan, kemudian startup semakin banyak dan eskponensial, bisa terjadi bubble. Ditambah lagi nampaknya The Fed juga melakukan kebijakan pengetatan uang yang paling enggak berpengaruh negatif ke beberapa perusahaan startup digital di hampir seluruh dunia," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: