Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Petani Sawit Ceritakan Nasibnya ke Jokowi

        Petani Sawit Ceritakan Nasibnya ke Jokowi Kredit Foto: Antara/Basri Marzuki
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia membuat surat terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo dengan judul “Bagimana Nasib Kami Pak..Harga Tandan Buah Segar Jatuh ..Tolong Bapak Tanggung Jawab”. 

        Melalui surat tersebut, petani kelapa sawit mengungkap kebijakan DMO dan DPO yang menjadi syarat perusahaan untuk mendapatkan persetujuan expor CPO dan turunannya dari Kementerian Perdagangan, menjadi biang kerok lambatnya ekspor CPO yang berimbas pada anjloknya harga tandan buah segar (TBS) sawit. Petani sawit pun meminta kepada pemerintah agar segera mencabut aturan DMO dan DPO. 

        “Bersama ini kami sampaikan Petisi kepada Presiden Jokowi akibat ketidak becusan dalam tata Kelola minyak goreng dan turunannya telah meyebabkan nasib kami para petani plasma sawit makin tidak jelas dalam mencari nafkah di negara yang menjadi penghasil CPO terbesar di dunia,” tulis Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia, dalam surat terbuka. 

        Dijelaskan, sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya pada 23 Mei lalu, harga tandan buah segar sawit (TBS) petani terus menunjukkan penurunan yang sangat draktis dimana untuk periode II – Januari 2022, sawit umur 3 tahun Rp 2.471,25/Kg; sawit umur 4 tahun Rp 2.640,54/Kg; sawit umur 5 tahun Rp 2.820,13/Kg; sawit umur 6 tahun Rp 2.908,64/Kg; sawit umur 7 tahun Rp 3.014,68/Kg; sawit umur 8 tahun Rp 3.108,54/Kg. Sawit umur 9 tahun Rp 3.160,16/Kg; sawit umur 10-20 tahun Rp 3.304,81/Kg.

        Lantas sawit umur 21 tahun 3.247,92/Kg; sawit umur 22 tahun Rp 3.233,38/Kg; sawit umur 23 tahun Rp 3.156,85/Kg; sawit umur 24 tahun Rp 3.051,78 /Kg; dan sawit umur 25 tahun Rp 2.953,19/Kg dan saat ini harga TBS akibat efek domino pelarangan ekspor CPO dan turunannya pada 28 April-22 Mei 2022 turun ke bawah Rp1.000 per kg. Per 26 Juni 2022, harga TBS di 10 provinsi wilayah anggota SPKS berkisar Rp500-1.070 per kg.

        Akibatnya petani sawit mengalami kerugian sekitar Rp1.500.000 - 2.000.000 per ha per bulan. Sementara untuk kerugian petani sawit swadaya seluruh Indonesia dari bulan April-Juni ini sudah ada sekitar Rp50 triliun.

        Penyebab dari jatuhnya harga TBS yang berdampak pada tingkat kesejahteraan petani sawit diakibatkan oleh Beberapa kebijakan yang inkonsisten tersebut, antara lain peraturan tentang DMO (domestic market obligation) dan DPO (domestic price obligation) yang gagal menjadi solusi malah diberlakukan kembali pasca pencabutan pelarangan ekspor oleh presiden Jokowi yang menyebabkan penumpukan CPO yang jumlahnya jutaan ton di PKS -PKS yang belum bisa terjual akibat pemberlakuan kebijakan DMO dan DPO yang justru memepersulit ekspor CPO.

        Penerapan pajak pungutan ekspor CPO yang  tinggin pajak dan pungutan ekspor (levy) menyebabkan jatuhnya harga tandan buah segar petani sawit dimana  Total pajak ekspor dan levy yang dibayarkan pelaku usaha sawit mencapai USD 575 per ton CPO yang diekspor.

        Beban yang besar ini pada akhirnya juga akan ditanggung oleh petani sawit karena harga TBS tidak akan pernah bisa pararel dengan harga CPO di pasar internasional.

        Dalam sejarah, mungkin sawit satu-satunya komoditas yang dipaksa untuk menanggung beban pungutan hingga setengah harga barangnya yang ujung-ujungnya dibebankan ke petani. 

        Selain harga yang masih rendah, penjualan TBS petani sawit  masih susah dan bernilai rendah akibat kebijakan kebijakan DMO dan DPO yang justru memepersulit ekspor CPO untuk masuk ke pabrik dan harus mengantre 2-3 hari karena beberapa pabrik masih menerapkan pembatasan pembelian TBS untuk petani swadaya.

        APPKSI pun mendesak dan meminta Presiden Jokowi untuk turun tangan agar bisa mengembalikan harga TBS pada harga kewajaran sesuai harga CPO dunia dengan mencabut aturan DMO (domestic market obligation) dan DPO (domestic price obligation) agar ekepor CPO dapat dipermudah untuk mengurangi tumpukan CPO di tangka tangki penimbunan CPO di PKS PKS ,sebab jika tidak dilakukan akan terus berdampak buruk pada harga TBS petani plasma sawit yang pada akhirnya menyebabkan petani kesulitan untuk membayar angsuran pinjaman untuk membangun kebun plasma pada bank dan akan juga menyebabkan petani sulit untuk membeli pupuk. 

        Harga TBS Anjlok saat ini yaang tinggal Rp 500 s/d 1000 per kilogram padahal Kran Export Sudah mulai dibuka, Penyebabnya adalah Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 98/PMK.010/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.010/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

        Dimana dalam aturan itu, Minyak Sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang akan dikirim ke Luar negeri dikenakan pajak yang sangat tinggi yakni 32,5 persen hingga 49.9 persen, jika dibandingkan dengan negara tetangga yaitu Malaysaia Pajak atau pungutan yang diberlakukan disanan hanya 6 sampai 8 persen, itulah kenapa harga TBS Kelapa sawit di Sana mahal Rp 4000 s/d 5000 per kg.

        Petani sawit juga minta pemerintah sekarang mempercepat ekspor CPO, dipermudah agar harga TBS bisa cepat normal. Juga perlu dimaksimalkan pengawasan di pabrik-pabrik kelapa sawit yang beralasan tangkinya penuh supaya petani tidak menjadi korban dimana ini merupakan  kondisi darurat.

        “Kalau perusahaan yang besar-besar tentu masih tenang, dia menyelamatkan PKS-nya sendiri. Menyelamatkan TBS-nya sendiri. Nggak terima lagi TBS pihak ketiga. Jadi, korban kebijakan pemerintah ini, DMO dan DPO ini adalah petani," bebernya. 

        Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi melalui Menteri Perdagangan  harus segera menghapus kebijakan DMO dan DPO yang dinilai sebagai biang kerok persoalan minyak sawit dan merugikan petani sawit ,dimana akibat kebijakan DMO dan DPO setiap bulan produksi minyak sawit itu sekitar 4 juta ton, ekspor 3 juta ton. Lalu stok akhir akan sekitar 2-3 juta ton.

        Itu kondisi alamiahnya. Tapi, karena ada DMO dan DPO, apalagi dengan rasio 1:5, dimana DMO 300 ribuan ton, berarti yang bisa diekspor adalah 1,5 jutaan ton. Artinya, ada akumulasi penumpukan di tangki CPO. Kepenuhan, PKS pun mengurangi pembelian TBS, akhirnya petani merugi. 

        “Demikian petisi ini kami sampaikan kepada Presiden Jokowi dan agar didengar dan ditindak lanjuti jika tidak kami akan dating ke Jakarta untuk melakukan aksi besar-besaran didepan Istana negara,” tutup surat terbuka yang dibuat pada 28 Juni 2022, oleh Badan Pengurus Pusat, Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia, M.A.Muhamadyah SH.MH.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: