Fungsi cukai sebagai instrumen pengendalian tembakau guna menekan prevalensi perokok anak, dan penerimaan negara dinilai tidak akan efektif jika sistem dan struktur tarif cukai yang berlaku saat ini masih dipertahankan.
Pasalnya, sistem cukai di Indonesia masih kompleks dan batasan produksi yang menjadi dasar penggolongan tarif masih dapat disalahgunakan, sehingga harga rokok tetap terjangkau bagi anak-anak. Akibatnya, target pemerintah menekan prevalensi anak dari menjadi 8,7 persen pada 2024 terancam tak tercapai.
Baca Juga: Urgensi Kebijakan Cukai Rokok Demi Perbaikan Kualitas Lingkungan
Sekretaris Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menilai struktur tarif cukai yang terdiri dari banyak layer masih terlalu kompleks, yang mengakibatkan harga rokok tetap murah.
"Di antara layer-layer itu, ada perbedaan tarif cukai dan perbedaan batas-batas produksi yang bisa diakali oleh industri," katanya.
Menurutnya, perusahaan dapat turun kelas atau turun golongan dengan memproduksi rokok dengan jumlah produksi yang masuk pada strata yang lebih rendah tarif cukainya.
Baca Juga: Permintaan Simplifikasi Cukai Rokok Dinilai Membahayakan Industri Rokok Nasional
"Gap antara golongan 1 dan golongan 2 juga sangat tinggi sehingga industri dapat mengakali dengan turun kelas produksinya. Jadi yang produksi kelas 1 bisa turun ke kelas 2. Tarif cukai antara Golongan 1 dan 2 juga berbeda signifikan dan tentunya negara juga sebetulnya tidak diuntungkan," katanya.
Dia menilai fenomena penurunan golongan ini yang makin memperparah downtrading, di mana perokok beralih ke rokok yang lebih murah. Kondisi ini menyebabkan target pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak.
"Pengaturan batasan produksi ini longgar. Peraturannya masih memberi kesempatan pada industri untuk bisa turun ke golongan 2 dengan melakukan pembatasan produksi," ujarnya.
Agus khawatir jika pengaturan batasan produksi saat ini masih dipertahankan, konsumen akan makin terdorong memilih rokok murah yang cukainya lebih rendah. Penurunan prevalensi perokok anak dan pengendalian konsumsi tembakau sesuai RPJMN 2020-2024 akan sulit tercapai. Artinya, batasan produksi 3 miliar batang sebagai penentu golongan 1 dan golongan 2 menimbulkan kerugian dari berbagai sisi.
Baca Juga: Miris...Jumlah Perokok Meningkat Drastis selama Pandemi, Sampai Rela Gak Makan Seharian...
YLKI mengapresiasi langkah Pemerintah dalam terus memperbaiki efektivitas struktur cukai, termasuk lewat simplifikasi layer cukai dari 10 menjadi 8 layer di tahun ini. "Cara-cara menghentikan downtrading dapat dilakukan, tetapi kami mendorong pemerintah untuk menyederhanakan layer tarif cukai," katanya.
Seperti diwartakan sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan pihaknya bersama Bea Cukai telah membahas fenomena downtrading dan pabrikan yang turun golongan. Febrio mengatakan, pihaknya telah mendiskusikan cara untuk mengatasinya.
"Kemarin kita bahas dan itu sudah ada caranya nanti untuk memastikan misalnya perusahaan pindah ke layer bawah begitu. Itu sudah ada cara teknisnya," katanya kepada media saat ditemui di DPR RI.
Baca Juga: Jumlah Perokok Indonesia Meningkat Selama Pandemi? Ini Faktanya
Pasalnya, angka batasan produksi saat ini juga memicu lebarnya jarak tarif antar golongan perusahaan rokok. Hal inilah yang menjadi pemicu banyaknya variasi harga rokok di pasaran sehingga konsumsi rokok tetap tinggi.
Febrio mengatakan pihaknya juga sudah memikirkan cara untuk mengatasi fenomena penurunan golongan pada perusahaan rokok. "Itu [batasan produksi] masih tetap ada, cuma ada cara yang lebih teknis bagaimana caranya agar peraturan yang ada itu tidak disalahgunakan. Jadi kita siapkan bagaimana supaya penerimaannya tidak turun," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Vicky Fadil
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: