Boris Johnson Diminta Lengser, Pejabat Indonesia Harus Pelajari Agar Tak Disuruh Mundur Juga
Pakar Kebijakan Publik, Achmad Nur Hidayat, menanggapi penolakan pengunduran diri Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson.
Pada Rabu, PM Inggris itu menolak tekanan dari anggota kabinet dan partainya sendiri yang inginkan ia mundur.
Baca Juga: Ditinggal Menteri Keuangan yang Resign, Kabinet Boris Johnson Ompong
Dia menegaskan bahwa dirinya akan melawan segala upaya untuk menurunkannya dari kursi perdana menteri.
"Johnson mengatakan dia memegang mandat Pemilu 2019 dan tak akan melepaskan tugasnya di tengah krisis biaya hidup dan perang di Eropa," kata Achmad dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis, (7/7).
Sudah lebih dari 40 pejabat dalam pemerintahannya telah mengundurkan diri dan banyak anggota parlemen dari Partai Konservatif telah menentangnya secara terbuka.
"Beberapa anggota kabinet mendatanginya di Downing Street –sebutan bagi kantor dan kediaman perdana menteri Inggris– untuk memintanya turun dari jabatan, menurut seorang sumber," ujarnya.
Salah seorang di antaranya, kata Achmad, meminta Johnson tetapkan sendiri waktu pengundurannya.
"Banyak anggota parlemen mengatakan bahwa sekarang pertanyaannya bukan lagi apakah tetapi kapan dia harus mundur," sebutnya.
Tak hanya itu, jaksa wilayah Inggris dan Wales Suella Braverman juga mendesak Johnson untuk lengser.
"Braverman menjadi menteri kabinet pertama yang mengatakan akan bersaing untuk menggantikan Johnson dalam pemilihan pemimpin Konservatif," ucap Achmad.
Menurutnya, rentetan krisis kepercayaan terhadap Johnson memuncak kala integritasnya dipertanyakan usai tunjuk seorang anggota parlemen, yang pernah menjadi target penyelidikan kasus serangan seksual, untuk mengurusi soal keagamaan di partainya.
"Sebelumnya, berbagai skandal telah mendera pemerintahannya, termasuk laporan tentang pesta di Downing Street yang melanggar aturan pembatasan COVID-19," katanya.
Bagi Achmad, yang terjadi di Inggria sekarang karena berbagai skandal yang melibatkan Johnson ataupun orang dekatnya. Itu bisa jadi pelajaran berharga bahwa etika dan moralitas mesti tetap dipegang oleh seorang pejabat publik.
"Karena publik tidak hanya menilai bahwa apakah seorang pemimpin itu cakap dalam mengelola jabatan dan pemerintahannya, tetapi publik juga menilai apakah seorang pemimpin itu menjunjung etika dan nilai nilai moralitas dalam kekuasaannya. Publik akan sangat mengecam jika dipimpin oleh seorang pemimpin yang amoral," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Adrial Akbar
Editor: Adrial Akbar
Tag Terkait: