Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Heboh Citayam Fashion Week, Sosiolog Blak-blakan: Mereka Melakukan...

        Heboh Citayam Fashion Week, Sosiolog Blak-blakan: Mereka Melakukan... Kredit Foto: Ayu Rachmaningtyas Tuti Dewanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Publik menyoroti muculnya sekumpulan remaja-ABG-Pemuda di kawasan Stasiun BNI City, Dukuh atas yang terkenal dengan istilah SCBD "Sudirman, Citayem, Bojonggede, dan Depok".

        Kini istilah Citayam Fashion Week pun muncul sebagai ajang catwalk di zebra cross kawasan tersebut oleh para pemuda.

        Mengenaiu hal ini Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat mengungkapkan istilah tersebut adalah simbol perlawanan kemapanan dan kedua sebagai kritik bagi pemerintah. 

        Rakhmat mengatakan, munculnya fenomena CFW itu sebagai dekonstruksi kemapanan struktural yang selama ini berkembang dan melekat di kota metropolitan Jakarta.

        Selama ini, kata Rakhmat, kemapanan struktural di Jakarta identik dengan yang gemerlap, metropolis, elite, branded dan fenomena kultural yang elitis. Hal itu tentu menunjukkan trennya hanya berada di struktural masyarakat kalangan ekonomi menengah ke atas.

        "Tren Citayam Fashion Week ini bisa dipahami sebagai dekonstruksi kemapanan struktural ya. Mereka melakukan dekonstruksi kemapanan struktural yang selama ini berkembang di Jakarta yang gemerlap, metropolis, kapitalis, dengan fenomena kultural yang elitis, pada kelas sosial tertentu. Yakni kelas sosial menengah ke atas (yang) selama ini menjadi konsumsi utama dari kebudayaan kemapanan kota-kota besar di Jakarta, yang sudah berlangsung secara permanen dan diproduksi secara struktural dalam jangka waktu yang sangat panjang di Jakarta," kata Rakhmat dilansir dari suara.com (25/7/2022).

        Jauh sebelum tren Citayam Fashion Week muncul, di Jakarta sudah ada sejumlah tren. Tetapi, tren itu hanya lekat dengan 'orang kaya-nya' Jakarta saja yang biasa dengan kemewahan.

        Baca Juga: Presiden Lakukan Kunjungan ke China, Rocky Gerung Sampaikan Pesan Serius untuk Jokowi: Mereka Melanggar Hak Etnis Muslim Uighur!

        Pada 1980-an, lanjut Rakhmat, muncul tren tempat nongkrong anak-anak muda Jakarta yakni 'Melawai'.

        Di tahun-tahun berikutnya, kemudian muncul tren lain di Selatannya Jakarta atau Jakarta Selatan. Anak-anak muda di sana, kata Rakhmat, punya tren menggunakan Bahasa Inggris dalam campuran komunikasi sehari-hari.

        "Mereka ini memang anak-anak yang berada di daerah Jaksel, Blok M, Senopati dan sekitarnya. Nah, itu kan kebudayaan yang sudah mapan bahwa mereka kelas sosial elite," ungkap Rakhmat.

        Lalu era saat ini, muncul para anak muda Citayam dan anak pinggiran ibu kota lainnya membawa tren baru yang menyesuaikan dengan kelas ekonomi sosial mereka. Yakni dengan berpakaian aneh, nyentrik, kontras dan mencolok di publik.

        "Ketika anak-anak Citayam, Ciputat dan pinggiran hadir ke Jakarta dengan sosok, ciri dan identitas mereka dengan outfit yang nyentrik, menjadi kontradiksi dengan anak-anak Jakarta yang outfit-nya mewah, branded, yang khas. Dan dengan keunikan yang diproduksi oleh cara berpikir mereka (anak Citayam—red), cara penampilan mereka dan mereka melakukan perlawanan terhadap kemapanan yang sudah lama berkembang di Jakarta," papar Rakhmat.

        "Mereka itu ingin menunjukkan bahwa mereka juga bisa, dengan harga outfit yang sekian, nyentrik, aneh dan punya spot catwalk di pinggir jalan atau di trotoar. Kalau misalnya orang elite atas punya etalase catwalk-nya di mall, tapi anak-anak itu catwalk-nya di jalanan. Mereka berangkat dari Citayam, Depok dan pinggiran lainnya dengan hanya modal Rp 10 ribu bisa ke Jakarta buat beli minuman es teh manis atau kopi dan itu cara perlawanan mereka. Perlawanan struktural dari anak-anak pinggiran Jakarta," sambung Rakhmat.

        Kedua, kata Rakhmat, munculnya tren Citayam Fashion week menjadi kritikan bagi pemerintah penyangga Kota Jakarta.

        Para anak pinggiran Jakarta itu datang ke kawasan elite SCBD untuk menunjukkan eksistensi dan tuntutan mereka akan kebutuhan ruang publik untuk bersosial dan berekspresi.

        Baca Juga: Jokowi Lakukan Kunjungan ke China, Omongan Rocky Gerung Nggak Main-main: China Sedang "Membangkrutkan" Banyak Negara

        "Kebetulan saya tinggal di daerah Sawangan berbatasan dengan Bojong dan Citayam. Saya sering naik kereta ke kampus melewati kampung Citayam. Jadi saya tahu betul anak-anak yang sering nongkrong, sering nyentrik. Nah jadi ini cara mereka menegur, mengkritik terhadap negara. Karena negara tidak menyediakan ruang publik bagi mereka. Negara tidak menyediakan ruang sosial mereka berekspresi dan akhirnya mereka memilih ke Jakarta," paparnya.

        "Jadi saya melihat dua itu. Pertama sebagai ekspresi perlawanan mereka dan kedua bentuk kritik terhadap pemerintah daerah penyangga karena dianggap gagal mengakomodir ruang ekspresi bagi anak-anak muda itu. Pilihannya yang murah meriah adalah pergi ke Jakarta. Apa bentuk kegagalan pemerintah lokal menyediakan ruang berekspresi itu? Ya mereka nggak ada tempat berekspresi anak-anak muda nongkrong, taman, untuk main skateboard, pertunjukkan seni musik, itu nggak ada. Karena itu dianggap nggak penting buat pemerintah di daerah penyangga itu," pungkas Rakhmat.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Bayu Muhardianto

        Bagikan Artikel: