Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Said Abdullah Perkirakan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bakal Capai 5,5% Tahun Depan

        Said Abdullah Perkirakan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bakal Capai 5,5% Tahun Depan Kredit Foto: DPR
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah nerharap Indonesia mampu disiplin dalam mengelola target, serta cepat melakukan mitigasi atas berbagai dinamika sosial, ekonomi, politik dan keamanan. 

        berkaca dari kemampuan cepat melakukan recovery ditahun 2021, maka Ia  memberikan gambaran postur APBN di tahun 2023.

        Politikus PDIP ini memperkirakan pada tahun 2023 pertumbuhan ekonomi akan sebesar 5,2-5,5% dengan inflasi dikisaran kurang lebih 4%, kurs rupiah terhadap dolar AS di posisi Rp14.400-14.700, dan suku bunga SUN 10 tahun 7,3-9%. 

        “Saya perkirakan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$90-100 per barel. Dengan lifting minyak bumi 650-680 ribu barel per hari, serta lifting Gas Bumi 1.040-1.150. setara minyak, ribu barel per hari,” ujar Said, dalam keterangan. resmi di Jakarta, Rabu (3/8/2022). 

        Baca Juga: IMF Perkirakan Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Global, Kripto Punya Masa Depan Suram

        Sementara itu, untuk target indikator kesejahteraan Said melihat bila tingkat kemiskinan akan sebesar 7,5-8,5%, tingkat pengangguran terbuka 5,3 – 6%, rasio gini 0,375-0,378, indeks pembangunan manusia 73,3-73,4, nilai tukar petani 105-107, dan nilai tukar nelayan 107-108. 

        Adapun, pendapatan negara berkisar Rp2.296,64 – 2.507,8 triliun, yang terdiri dari penerimaan penerimaan perpajakan berkisar Rp936,14 – 2.050,58 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp385,5 – 455,22 triliun, dan penerimaan hibah Rp2 triliun. 

        Dengan perkiraan belanja negara berkisar Rp2.829,8-3.116,88 triliun yang terdiri dari belanja pusat R.2.019,9-2.276,6 triliun, dan transfer ke Daerah dan Desa Rp809,9 – 840,73 triliun. 

        Baca Juga: Tenang, Pemulihan Ekonomi Nasional On The Track kok!

        “Lebih dari 30 persen belanja negara tertransfer ke daerah dan desa. DPR telah memberikan dukungan kepada pemerintah pusat dan daerah melalui Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). Melalui undang undang ini pemda diberikan kewenangan fiskal yang lebih besar, seiring dengan kewajiban untuk efisiensi belanja rutinnya. Dengan menjalankan undang undang ini dengan baik, kontribusi pembangunan didaerah akan jauh lebih besar effortnya. Sehingga tumpuan pembangunan tidak hanya mengandalkan belanja pusat,” ucapnya. 

        Dari sisi investasi, Indonesia perlu lebih giat mendorong investasi pada mesin mesin dan peralatan serta hak kekayaan intelektual. Pengeluaran untuk barang modal atau PMTB kita selama ini lebih dari 70 persen di dominasi oleh bangunan, kontribusi mesin, peralatan dan hak kekayaan intelektual masih rendah. 

        “Karena konsentrasi investasi masih pada sektor bangunan, akibatnya daya dukung produksi barang belum memadai, ditambah sumber daya manusia yang belum mempuni, dan tingginya biaya logistik, hal ini menjawab persoalan mengenai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) kita masih tinggi di level 6,24 pada tahun lalu,” imbuh Said. 

        Said menambahkan defisit akan berkisar 2,85% dari PDB. Lalu, pembiayaan SBN Netto Rp600,8- 902,2 triliun, investasi Netto Rp65,6 – 205 triliun, serta rasio utang terhadap PDB 40,58-42,35% PDB. 

        Perkiraan tersebut disampaikan oleh Said melihat belum usainya persoalan pandemi Covid-19, perang antara Rusia dan Ukraina. Sontak saja, perang tersebut menyebabkan supply shock bahan pangan dan energi. 

        Dampaknya, lanjut Said inflasi mebumbung tinggi yang menjalar dibanyak kawasan. Situasi ini tentu ada untung ruginya buat ekonomi kita. 

        Efek kenaikan harga komoditas global di Kuartal IV tahun 2021 berdampak penerimaan perpajakan kita melampaui target, setelah dua belas tahun berturut turut kita mengalami short fall pajak.

        “Naiknya harga komoditas juga menjaga surplus perdagangan sejak Mei 2020,” jelasnya. 

        Dilain hal Indonesia dianggap harus memperbesar alokasi belanja subsidi dan kompensasi energi, yakni BBM, LPG dan listrik. Membengkaknya alokasi subsidi dan kompensasi energi ini dikarenakan Indonesia telah lama menjadi importir minyak bumi. 

        “Biaya tambahan juga dibutuhkan untuk menjaga daya beli, khususnya rumah tangga miskin terhadap kenaikan inflasi yang mulai dirasakan disejumlah bahan pangan impor,” terangnya. 

        Dirinya mengungkapkan jika pada KTT G20 pada November 2022 nanti tidak membuahkan hasil nyata untuk mengatasi supply shock pangan dan energi dunia, maka konidis ekonomi pada tahun depan masih akan kurang lebih sama seperti tahun ini. 

        “Bila KTT G20 bisa menganulir berbagai pelarangan produk pangan dan energi Rusia ke pasar global, langkah itu akan membuka pasokan logistik global pulih secara perlahan,” ujarnya. 

        Pada tahun 2023 perlu mewaspadai kesiapan fiskal, mengingat tahun depan harus kembali pada defisit pembiayaan APBN dibawah 3 persen PDB. Indonesia dinilai tidak bisa lagi membuka pembiayaan utang seperti tiga tahun terakhir untuk melebarkan ruang fiskal. 

        Oleh sebab itu senjata utama pemerintah agar memiliki dompet lebih tebal yakni dengan menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi, menjaga surplus perdagangan yang di topang dari ekspor baru dan manufaktur, penerimaan perpajakan yang baik, dan inflasi yang terkendali, serta meningkatkan investasi, khususnya pada sektor primer.

        Pertumbuhan ekonomi optimis bisa kita raih ke level lima persenan jika mampu mengelola inflasi dengan baik. Dengan inflasi terkendali dengan baik, maka permintaan domestik (konsumsi rumah tangga) sebagai pilar penting pertumbuhan ekonomi selama ini akan terjaga. Indonesia masih peluang besar seiring masih relative tingginya harga komoditas ekspor. 

        “Porsi ekspor dalam mendorong permintaan perlu terus ditingkatkan, agar tidak semata mata mengandalkan permintaan domestik. Inilah saatnya kita melakukan transformasi ekonomi untuk lebih outward looking,” tambahnya. 

        Indonesia pun tidak boleh mengandalkan ekspor hanya bertumpu pada komoditas. Program hilirisasi harus mulai tampak kontribusinya pada produk ekspor baru. 

        “Selama rentang 2014-2019 kita hanya menghasilkan 17 produk ekspor baru, sementara Vietnam 48, Thailand 30, dan Malaysia 30 produk ekspor baru,” tutup Said. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: