Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Gila! Industri Keuangan RI Paling Banyak Kedua Alami Serangan Siber

        Gila! Industri Keuangan RI Paling Banyak Kedua Alami Serangan Siber Kredit Foto: Unsplash/Shamin Haky
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Penyedia solusi keamanan siber  global, Check Point® Software Technologies Ltd., mengungkapkan bahwa sektor keuangan dan perbankan di Indonesia merupakan industri yang menempati peringkat kedua terbanyak mengalami serangan siber di negara ini, naik dari posisi ke 3 pada tahun 2021.

        Rata-rata, Lembaga-lembaga keuangan di Indonesia diserang sebanyak 2.730 kali per minggu dalam 6 bulan terakhir, 252% lebih banyak dari rata-rata global yang mengalami 1.083 serangan siber. Secara global, sektor Keuangan dan Perbankan menempati urutan ke-6 dalam industri yang paling banyak mengalami serangan siber.

        “Tingginya tingkat serangan siber di Indonesia dibandingkan dengan statistik global menunjukkan para penyerang keamanan siber lebih sukses melakukan serangan siber di negara ini. Ketika penyerang menemukan cara untuk mengelabui pengguna atau mengkompromikan sistem, mereka akan memperluas operasi mereka dengan cepat untuk memanfaatkan kerentanan sebelum industri tersebut dapat bereaksi,” kata Deon Oswari, Country Manager Indonesia, Check Point Software Technologies dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (24/8/2022). Baca Juga: Tangkis Serangan Siber, BNI Perkuat Literasi dan Perlindungan Nasabah

        Untuk kasus di Indonesia, Check Point Research melihat adanya peningkatan serangan pada platform dan aplikasi mobile banking. Oleh karena itu, sangat penting bagi  industri perbankan untuk waspada dan meninjau ulang sistem keamanan siber mereka.

        "Semakin banyak Anda mengetahui  tentang ancaman siber dan risiko di luar sana, semakin baik perusahaan perusahaan Financial Services Industry (FSI) tersebut menempati posisi untuk dapat mengambil tindakan dan menerapkan kontrol," pungkasnya.

        Baru di awal tahun ini, Bank Sentral Indonesia mengumumkan bahwa jaringan mereka terkena serangan ransomware. Pelaku ancaman mencuri data non-kritis mengenai karyawan bank sebelum mengenkripsi sistem. Kelompok hacker terkenal, Conti Ransomware telah mengklaim serangan tersebut setelah membocorkan sebagian dari file yang diduga telah dicuri.

        Agar ransomware bekerja, penjahat siber pertama-tama harus mendapatkan akses ke sistem target, mengenkripsi file, dan kemudian meminta tebusan dari korban. Salah satu cara untuk menyusup ke sistem adalah melalui email phishing — salah satu mekanisme pengiriman paling umum untuk ransomware.

        Faktanya, Check Point Research menemukan bahwa 92% file berbahaya di Indonesia dikirim melalui email dalam 30 hari terakhir. Yang diperlukan si penjahat siber dalam menyerang, hanyalah satu karyawan yang kurang memiliki informasi mengklik tautan di email berbahaya tersebut, dan hal itu dapat menjadikan seluruh asset digital perusahaan tersandera.

        “Dalam iklim ransomware saat ini, serangan rantai pasokan dan perjuangan terus-menerus melawan malware baru yang terus  berevolusi, threat intelligence  dan kemampuan merespons secara cepat menjadi hal yang sangat penting. Kecerdasan komprehensif yang  secara proaktif menyingkirkan ancaman, menyediakan layanan keamanan terkelola untuk memantau jaringan Anda, dan kemampuan respons insiden untuk merespons dan menghentikan serangan siber dengan cepat, semua hal tersebut menjadi penting untuk menjaga bisnis Anda tetap berjalan di  tahun 2022 ini,” jelas Oswari. Baca Juga: Waspadai Serangan Siber, OJK Minta Perbankan Lakukan ini

        Hal tersebut turut  diamini oleh pemerintah Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK) telah menghimbau industri jasa keuangan sejak tahun 2021 untuk meningkatkan tata kelola teknologi informasi dan maajemen risikonya. OJK juga mengungkapkan roadmap pengembangan perbankan Indonesia hingga 2025, yang dibuat untuk mendukung masa depan perbankan digital, serta memperkuat fundamental hukum dan kebijakan keamanan siber.

        "Banyak perusahaan-perusahaan berusaha untuk membangun keamanan mereka dengan menambal sulam produk satu fungsi dari beberapa vendor, namun  seringkali gagal dan celah keamanannya dibiarkan.  Hal ini  terjadi karena teknologi yang digunakan  tidak terintegrasi.  Pendekatan seperti ini juga menghasilkan overhead yang besar karena pekerjaan jadi tergantung pada banyak sistem dan vendor, padahal yang menjadi tujuan semula adalah satu solusi yang terintegrasi," tuturnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajar Sulaiman
        Editor: Fajar Sulaiman

        Bagikan Artikel: