Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kenaikan Harga BBM Dinilai Berdampak Positif Pada Kesehatan Fiskal

        Kenaikan Harga BBM Dinilai Berdampak Positif Pada Kesehatan Fiskal Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, M Kholid Syeirazi menilai penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) adalah kebijakan yang sulit dihindari pemerintah, ketika harga minyak dunia terus berada dikisaran 100 dolar AS per barel seperti sekarang ini.

        “Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi ini adalah ‘pil pahit’ yang harus kita telan untuk kesehatan fiskal negara," ungkap Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, M Kholid Syeirazi di sebuah acara diskusi ekonomi di Jakarta.

        Kholid melihat oublik masih terjebak pada opini populis dalam menyikapi kenaikan harga BBM. Sebagian publik masih mengabaikan fakta obyektif kondisi keuangan negara, nilai tukar rupiah, dan krisis energi global. 

        Dia pun mengingatkan konflik antara Rusia dan Ukraina sebenarnya telah membuat produksi dan pasokan minyak mentah dari kedua negara terhambat, sehingga terjadi kenaikan harga minyak dunia. 

        Tak mengherankan jika harga keekonomian BBM di dalam negeri juga mengalami kenaikan. 

        Kholid merinici asumsi ICP di 105 dolar AS per barel maka harga keekonomian BBM jenis Pertalite mencapai Rp 14.000 per liter.

        Jika tidak dinaikkan dan tetap diangka Rp 7.650 per liter, maka subsidi pemerintah bisa mencapai Rp 6.350 per liter.

        Dengan jumlah kuota 23 juta Kiloliter pada tahun 2022, maka jumlah yang harus disubsidi mencapai ratusan triliun rupiah. 

        “Itu baru Pertalite, belum lagi BBM jenis Solar yang juga harus disubsidi pemerintah. Kalo tidak direm, anggaran subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah bisa mencapai hampir Rp 700 triliun. Duit segitu sudah hampir melampaui belanja infrastruktur,” papar Kholid Syeirazi.

        Dia menilai kebijakan subsidi BBM di Indonesia selama ini masih salah sasaran karena dikonsumsi orang-orang kaya yang mampu membeli mobil. 

        “Menurut saya, kalau ada orang bisa beli mobil tapi pakai BBM bersubsidi, itu halal tapi tidak toyyib. Halal karena memang belum diatur, tapi tidak toyyib karena mengambil jatah orang miskin. Inilah penyebab membengkaknya anggaran subsidi hingga Rp 502 triliun. Jadi kalau harga minyak dunia masih dikisaran USD 100 per barel, maka menaikkan harga BBM adalah ‘pil pahit’ yang harus kita telan untuk kesehatan fiskal negara," ujarnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: