Perppu Cipta Kerja dianggap mengabaikan asas demokrasi deliberatif lantaran tak memberikan ruang partisipasi publik untuk mengkritik revisi UU Cipta Kerja.
Hal itu diungkapkan oleh pengamat kebijakan publik sekaligus Direktur Eksekutif CREED Yoseph Billie Dosiwoda.
Menurut dia, Pemerintah terkesan mengambil jalan pintas yang tidak etis bagi jalannya demokrasi.
“Pemerintah juga telah mengabaikan keputusan MK dimana yang sebelumnya telah berpendapat menghormati dan akan mengikuti keputusan MK soal revisi Undang Undang Cipta Kerja bukan mengingkari,” kata Yoseph dalam keterangan tertulis, Selasa (3/1/2023).
Dia mengamini bahwa UU Cipta Kerja menyangkut kepentingan yang lebih luas bagi kegiatan ekonomi baik sektor pekerja atau buruh dan pengusaha. Namun, melalui putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Pemerintah diberikan kesempatan untuk memperbaiki UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sampai 25 November 2023, bukan menerbitkan Perppu.
“Justru keadaan saat ini tidak ihwal kepentingan memaksa atau terjadi kekosongan hukum atau istilah lain keadaan genting sesuai dengan Konstitusi Pasal 22 UUD 1945 yang kondisi ideal bagaimana mengeluarkan prosedur Perppu,” papar dia.
Berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 ayat 2, DPR perlu mempelajari subtansi dari 1.117 halaman (Perppu yang beredar), apakah Perppu dapat memenuhi kepentingan publik yang lebih luas yang win win solution bagi sektor pekerja/buruh dan pengusaha yang berdampak imbas dari Perppu tersebut.
Yoseph melihat posisi genting mengenai Perppu ini berada di tangan DPR. Sebab, mengacu pada Pasal 22 UUD 1945 ayat 3, bila DPR tak menyetujui Perppu, maka Perppu tak dapat dijalankan.
“Persetujuan DPR ini sangat penting karena DPR-lah yang memiliki kekuasaan legislatif, dan yang secara objektif menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: