Indonesia berhasil menjadi negara yang lebih koruptif dibandingkan dengan Timor Leste yang baru saja merdeka dengan skor hanya 34.
Data ini didapat berdasarkan, data dari Transparency International Indonesia (TII) yang merilis Indeks Persepsi Korupsi IPK (IPK) Indonesia 2022 yang merosot empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 di 2021.
Achmad Nur Hidayat selaku Ekonom dan Pakar Kebijakan pun mengatakan, ini menjadi penurunan yang paling ekstrim sejak tahun 1995.
Baca Juga: Sayup Dugaan Korupsi Bansos Era Anies Belum Reda, Dua Skenario Dibaca: Ayo Laporkan ke KPK!
“Dan ini adalah yang terburuk dalam periode reformasi. Ini juga menunjukkan gagalnya pemerintahan Jokowi dalam menjalankan agenda reformasi,” katanya melalui keterangan tertulisnya, Jumat, (03/02/23).
“Intinya korupsi akan terus mencengkram negeri ini sebab will untuk memberantasnya masih tampak setengah hati dimata publik,” tambahnya.
Achmad mengatakan, harus diakui bahwa korupsi ini masih menjadi kultur yang sistemik yang hingga saat ini masih terus mencengkram den menggerogoti Indonesia.
“Bagaimana tidak? Hampir terdengar di semua sektor korupsi ini terjadi sehingga rakyat pun sangat pesimis dan jengah dengan kiprah pemberantasan korupsi,” jelas Ahmad
“Publik masih mendengar adanya kongkalikong deal-dealan pihak ketiga dengan pejabat pemerintah dalam rangka bagi-bagi jatah diluar aturan yang berlaku, markup anggaran, suap proyek dan suap oknum penegak hukum,” tambahnya.
Ia mencontohnya seperti kasus Jaksa Pinangki yang dengan mudah dikurangi masa hukumannya dan suap hakim agung Gazalba Saleh yang kini tengah diproses di pengadilan.
Baca Juga: Gerakan Antikorupsi Zelensky Bikin Heboh Pemerintahan Ukraina, Lusinan Pejabat Langsung Didepak!
“Publik pun mendengar bagaimana LPSK yang hendak disuap dalam penanganan kasus pembunuhan Ferdy Sambo, dan banyak lagi kasus-kasus korupsi lainnya yang tidak terungkap ke publik dan tidak tersentuh hukum,” kata dia.
Achmad juga menambahkan, hingga kini masih terus dipertanyakan kinerja penegak hukum.
“Seperti pada kasus Sumber Waras yang belum jelas ujungnya, Harun Masiku yang belum juga tertangkap padahal logikanya lebih mudah untuk mengkasuskan lawan politik, contohnya kasus Lukas Enembe dan Formula E yang seperti dicari-cari kesalahannya,” kata dia.
Publik juga bisa melihat bagaimana penanganan konsorsium 303 atau judi online lainnya yang bukti transaksi keuangannya sudah dibuktikan oleh PPATK tapi hingga saat ini tidak terdengar tindak lanjutnya.
“Jika hal-hal tersebut masih belum bisa diselesaikan maka tidak mengherankan jika publik merasa pesimis dengan pemberantasan korupsi hingga saat ini,” jelasnya.
Ia menambahkan, memang korupsi harus diperangi secara bersama-sama oleh setiap komponen masyarakat, tapi tanggung jawab tentunya ditangan KPK dan pemerintah, artinya merosotnya IPK ini menjelaskan merosotnya kinerja KPK dan pemerintah dalam penanganan korupsi.
“KPK harus di evaluasi, jangan-jangan KPK ini dibentuk hanya untuk membungkam lawan politik. Publik melihat indikasi ini setelah transformasi pegawai KPK jadi ASN,” katanya.
Baca Juga: Pejabat Ukraina Doyan Korupsi, Padahal Paling Rajin Minta-minta ke Asing
“Indonesia punya Menkopolhukam yang notabene mantan hakim pegiat anti korupsi, tapi yang ini juga yang menjadi pertanyaan kenapa IPK bisa jeblok?” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sabrina Mulia Rhamadanty
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty