Semakin berkurangnya pasokan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai bahan baku produksi minyak goreng ke pabrik minyak goreng menjadi salah satu penyebab mulai berkurangnya pasokan Minyakita di pasar tradisional.
Padahal, pemerintah sudah memberlakukan wajib pemenuhan domestik (domestic market obligation/DMO) dengan skema 1:6. Lewat skema ini, untuk bisa mengekspor CPO, produsen harus memasok minyak goreng ke pasar dalam negeri dengan rasio kuota 1:6, yang mana sebelumnya rasio yang berlaku ialah 1:8.
Baca Juga: 515 Ton MinyaKita Ditimbun di Gudang KBN Marunda, Zulkifli Hasan Kasih Wanti-wanti..
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga.
"Situasi saat ini memang betul-betul ribet, resesi dunia betul-betul terjadi. Permintaan minyak dan lemak dunia diprediksi turun jadi sekitar 240-an juta tahun ini. Tahun 2022 mencapai 246 juta ton, naik dari tahun 2021 yang hanya 241-an juta ton," kata Sahat, Selasa (7/2/2023).
Baca Juga: Hilangnya MinyaKita di Pasaran Jadi Bukti Industri Sawit Dimonopoli
Menurut Sahat, penurunan permintaan tidak hanya untuk CPO, tetapi juga minyak yang dihasilkan dari bunga matahari, kedelai, rapeseed, maupun lemak lainnya.
"Harga-harga minyak juga drop terus, baik Kuala Lumpur maupun Rotterdam turun terus. Tercermin dari harga di Dumai yang masih Rp11.558 per liter," katanya.
Di sisi lain, Sahat menambahkan, pemerintah memberlakukan DMO dan harga Minyakita yang harus dijual adalah Rp14.000 per liter.
"Ini berarti pengusaha sawit nombok. Jika dengan harga CPO di Dumai Rp11.558 per liter, harga minyak gorengnya yang sampai di konsumen itu setidaknya Rp18.150 per liter. Itu termasuk PPN. Karena ada perhitungan kemasan, transportasi. Nah, yang Rp4.150 siapa yang nutupin? Distributor kan nggak mau rugi? Ini jadi beban produsen CPO," kata Sahat.
Baca Juga: Minyakita Langka di Pasaran, Mendag: Kita Akan Tambah Stoknya!
Lebih lanjut dijelaskan Sahat, jika kuota DMO 1:6, berarti Rp4.150 per liter yang merupakan selisih dari harga minyak goreng tersebut dibagi 6 maka terdapat sekitar Rp700 per liter yang harus ditanggung produsen CPO. Padahal, marjin ekspor, dengan harga saat ini pun tidak mencapai harga tersebut.
Akibatnya, lanjut Sahat, produsen CPO menahan ekspor, yang akhirnya berdampak pada pasokan minyak goreng dalam negeri. Oleh karena itu, Sahat menyarankan agar pemerintah kembali membebaskan Bea Keluar (BK) atas ekspor CPO sambil terus dilakukan evaluasi.
Baca Juga: KPPU Temukan Dugaan Penjualan Bersyarat Minyakita, Melanggar UU Persaingan Usaha
"Kalau tak ada ekspor, tak ada DMO. Karena itu, saya kira, seperti yang disampaikan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Bali tahun lalu, kuncinya gotong royong. Jangan semua dibebankan ke satu pihak," kata Sahat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: