Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Deal di Belakang Layar Menyusahkan, Bawaslu Sesalkan Dana Kampanye Anies Baru Terkuak

        Deal di Belakang Layar Menyusahkan, Bawaslu Sesalkan Dana Kampanye Anies Baru Terkuak Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menyesalkan kasus dugaan pelanggaran dana kampanye mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan senilai Rp 50 miliar baru terungkap tahun ini. Sebab, Bawaslu tidak bisa mengusut kasus yang masuk kategori pidana itu karena sudah kedaluwarsa.

        Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menjelaskan, sebuah kasus dugaan pelanggaran pemilu maupun pilkada bakal kedaluwarsa apabila proses pemilihan sudah rampung. Adapun kasus Anies ini terjadi saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI tahun 2017. Anies pun sudah selesai menjabat sebagai gubernur sejak tahun 2022 lalu.

        Baca Juga: Dengerin, Orang Ini Ungkap Bocoran Nasib IKN Kalau Anies Baswedan Jadi Presiden

        “Jadi, kami sangat sayangkan laporan ini baru sekarang. Kalau dari dulu, sejak dari awal, tentu pasti akan kami selidiki,” kata Bagja kepada wartawan, Jumat (17/2).

        Menurut Bagja, kasus tersebut kini hanya bisa dijadikan pelajaran saja. Pelajaran bagi kontestan Pemilu 2024 agar mematuhi ketentuan pelaporan dana kampanye.

        “Jika ada dana kampanye, sumbangan, dan lain-lain, tolong dicatatkan di laporan dana kampanye, baik di laporan awal dana kampanye maupun di laporan akhir,” ujar Bagja.

        Ini merupakan kali kedua Bagja menyoroti perkara dana kampanye Anies ini. Sebelumnya, Bagja menyebut Anies melanggar ketentuan dana kampanye karena menerima sumbangan sebesar Rp 50 miliar dari pihak ketiga.

        Bagja menjelaskan, sumbangan Rp 50 miliar itu melampaui batas maksimal sumbangan dana kampanye yang boleh diterima calon kepala daerah.

        Untuk diketahui, Undang-Undang Pilkada membolehkan calon kepala daerah menerima sumbangan dana kampanye dari perseorangan maksimal Rp 75 juta, sedangkan dari swasta maksimal Rp 750 juta.

        “Itu seharusnya bermasalah, seharusnya itu pelanggaran pidana. Itu pidana karena dia tidak menyebutkan itu di laporan akhir dana kampanye,” kata Bagja.

        Perkara sumbangan dana kampanye Anies ini sebelumnya diungkap oleh Waketum Golkar Erwin Aksa. Dia menyebut Anies berutang kepada Sandiaga Uno sebesar Rp 50 miliar saat Pilgub 2017. Anies dan Sandi merupakan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur ketika itu.

        Itu seharusnya bermasalah, seharusnya itu pelanggaran pidana. Itu pidana karena dia tidak menyebutkan itu di laporan akhir dana kampanye.

        Setelah kabar utang itu beredar luas, Anies menyampaikan klarifikasi. Anies tegas menyatakan bahwa uang Rp 50 miliar itu bukan milik Sandi. Anies menjelaskan, uang Rp 50 miliar itu berasal dari pihak ketiga untuk keperluan kampanye.

        Pihak ketiga ini mengharuskan Anies dan Sandi mengganti uang tersebut apabila mereka tidak terpilih sebagai gubernur-wakil gubernur. Sebaliknya, utang tersebut dianggap lunas apabila Anies-Sandi menang.

        Nyatanya, Anies keluar sebagai pemenang. Artinya, Anies mendapatkan sumbangan dana kampanye Rp 50 miliar dari pihak ketiga.

        Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengatakan, perjanjian semacam itu tidak boleh ada. Ia turut mengajak semua berkomitmen agar perjanjian utang piutang antara politisi di belakang layar itu harus ditiadakan.

        Ia berpendapat, itu bisa disebut sebagai pemufakatan jahat. Niat perjanjian adalah menggunakan kekuasaan untuk tujuan yang tidak ada dalam peraturan dan tujuan penyelenggaraan kekuasaan itu sendiri.

        Baca Juga: Fahri Hamzah Tanggapi Pilihan Ridwan Kamil Masuk Golkar: Meski Bukan Bergabung ke Partai Gelora...

        “Maka itu tidak boleh ada, ini harusnya warning, ya. KPK harusnya mengincar itu. Kalau ada orang bikin perjanjian dengan pengusaha, dengan orang kaya, duit dan sebagainya, harus ditangkap itu, tidak boleh ada,” kata Fahri, Selasa (14/2).

        Mengenai korupsi, ia menerangkan, ketika ada calon kepala daerah meminjam uang Rp 50 miliar dengan mengatakan nanti kalau menang tidak usah dilunasi, uang pinjaman itu tetap tidak hilang. Artinya, kata Fahri, uang harus tetap dikompensasi dari kekuasaan.

        Perihal tersebut, Fahri mengaku tidak bermaksud menyampaikan kritik kepada seseorang. Namun, ia menekankan, perjanjian-perjanjian semacam ini di belakang layar dengan siapa pun harus sudah tidak ada karena dapat mengikat pejabat-pejabat publik.

        “Sehingga nanti di ujung pejabat publik itu tidak menjalankan kekuasaan secara transparan karena ada deal di belakang layar. Harus dihentikan. Kalau mau bersih dari korupsi begini cara kelola negara, hentikan permainan di belakang layar,” ujar Fahri.

        Menurut dia, hal itu masuk pula korupsi kekuasaan, seperti pemanfaatan kewenangan, izin-izin, anggaran negara, dan sebagainya. Maka itu, Fahri meminta KPK mengusut karena tidak boleh politisi membuat perjanjian dengan pemilik modal untuk membantu di belakang layar.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: