Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai, keberadaan area penyangga atau buffer zone sangat penting. Tidak boleh ada permukiman di area tersebut, guna menghindarkan adanya korban jiwa jika terjadi ledakan.
“Area penyangga itu sudah diatur Pertamina. Tujuannya, jika terjadi kebakaran atau ledakan tidak menimbulkan korban jiwa. Makanya harus bebas dari permukiman,” kata Agus kepada media hari ini.
Hanya saja, kata dia, dalam perkembangannya, ternyata warga terus mendekati area penyangga. Bahkan sekarang, sudah dipenuhi penduduk sehingga hanya dibatasi oleh tembok beton.
“Yang tadinya dipergunakan sebagai area penyangga, akhirnya rumah warga menempel. Nah, sekarang meledak. Yang harusnya tidak sampai ada korban penduduk, menjadi ada korban. Loh kok malah Pertamina yang disalahin?” ujar Agus.
Baca Juga: Pertamina Berikan Bantuan Rp5,6 Juta kepada Korban Kebakaran TBBM Plumpang
Agus menjelaskan, lahan tersebut memang milik Pertamina. TBBM Plumpang tersebut, dibangun sejak 1970-an dan memiliki luas sekitar 150 hektar. Pada luasan tersebut, 70 hektar digunakan untuk fasilitas Pertamina dan 80 hektar sisanya sebagai daerah penyangga.
“Nah, yang 80 hektar sebagai penyangga tersebut, kemudian diokupansi masyarakat dengan berbagai macam cara. Akibatnya, luasan kawasan TBBM Plumpang berkurang jauh sekali,” imbuhnya.
Pengamat tata kota Universitas Trisakti Nirwono Joga sependapat, bahwa tanah tersebut memang milik Pertamina.
Nirwono menerangkan, TBBM Plumpang sudah ada sejak 1974. Keberadaannya sesuai Rencana Induk Jakarta 1965-1985 dimana jarak TBBM Plumpang ke Pelabuhan Tanjung Priok 5 kilometer. Ketika itu, tanah sekitar depo juga masih kosong dan rawa. Tidak ada permukiman.
Baca Juga: Luhut - Erick Thohir Saling Sikut Soal Depo Pertamina Plumpang, DPR: Jangan Bikin Bingung!
“Jadi sudah ditaruh plotnya lokasi dekat dengan distribusi dan pada saat 1974, Rencana Induk Jakarta 1965-1985 sudah menempatkan kiri kanannya sejauh 1-2 km bebas dari permukiman. Secara teknis tata ruang sudah tepat. Bahkan dalam Rencana Umum Tata Ruang 1985–2005 posisi tersebut tetap dipertahankan,” tutur Nirwono.
Nirwono mengindikasikan, perubahan tata ruang terjadi sejak 1990-2000. Dan sampai sekarang, permukiman warga semakin mendekat dan merapat. “Kalau tadinya 1–2 kilometer bebas permukiman, dalam 20 tahun terakhir malah semakin merapat dengan depo. Ini lebih kepada faktor ekonomi. Karena depo ini kan mengundang untuk kebutuhan warung, tempat tinggal dan sebagainya,” tutup Nirwono.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: