Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Anggota Komisi VII DPR RI: Target Net Zero Emission Harus Menjadi Cita-cita Politik dan Pembangunan ke Depan

        Anggota Komisi VII DPR RI: Target Net Zero Emission Harus Menjadi Cita-cita Politik dan Pembangunan ke Depan Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Abdul Kadir Karding mengatakan target net zero emission harus menjadi cita-cita politik dan pembangunan Indonesia ke depan. Hal ini karena meningkatnya emisi dan perubahan iklim akan berdampak pada generasi berikutnya.

        "Energi fosil itu berdampak pada peningkatan gas rumah kaca, global warming yang berakibat pada generasi berikutnya. Itu yang saya katakan bagaimana kita menyusun, memperkuat komitmen politik Pemerintah, khususnya untuk bergerak menuju ke arah transisi energi. Ini harus ini, kalau tidak maka akan ada banyak masalah yang kita peroleh ke depan. Jadi, target menuju net zero emission ini harus menjadi cita-cita politik dan pembangunan kita ke depan," paparnya dalam Diskusi Ahli Peran Energi Baru dan Energi Terbarukan pada Transisi Energi Menuju Net Zero Emissions oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia di Jakarta Pusat, Rabu (29/3/2023).

        Baca Juga: Investasi Pembangkit Panas Bumi Jadi Kunci Pengembangan Green Economy dan Target NZE 2060

        Abdul Kadir juga menyampaikan pengelolaan energi yang terus menerus berpaku pada impor akan mengganggu stabilitas fiskal, ketahanan, dan kedaulatan energi Indonesia.

        "Jika pengelolaan energi kita masih terus impor, maka nanti yang terjadi adalah fiskal kita akan terganggu. Selain itu, ketahanan atau kedaulatan energi kita juga terganggu. Kita butuh terobosan sumber daya energi yang stabil, yang ramah lingkungan, dan ada manfaat bagi masyarakat," ucapnya.

        Abdul Kadir kemudian menyampaikan potensi energi terbarukan di Indonesia ini sangat besar, seperti energi matahari, air, angin, PLTU dan PLTN.

        Baca Juga: Greenpeace Indonesia: Program B50 Tidak Sejalan dengan NZE

        "Potensi energi terbarukan kita itu besar. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), kita itu punya 7.714 GW energi matahari, 7.308 GW dari air, ada 106 GW dari angin, 28,1 GW dari pembangkit listrik PLTU dan PLTN. Dari data ini, sebenarnya secara potensi [energi terbarukan], kita besar," katanya.

        Berbicara mengenai energi baru, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim mengatakan energi baru dalam UU Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi adalah energi yang berasal dari sumber energi baru di mana sumber energi baru ini dapat dihasilkan oleh teknologi baru, baik yang berasal dari sumber energi terbarukun, maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hydrogen, gas metana batu bara, batu bara tercairkan, dan batu bara tergaskan.

        Ia juga menyampaikan sifat terpenting dari energi itu bukan soal baru, tetapi yang penting adalah kontinuitas keamanan pasokannya, keekonomian biaya produksi, dan rendah karbon. 

        "Sifat yang penting dari sebuah energi itu bukanlah soal baru. Baru dan tidak baru itu not matter. Yang penting itu bagaimana kontinuitas keamanan pasoknya secure atau tidak, keekonomian biaya produksi, dan bersih sekarang atau rendah karbon," ujar Herman Darnel.

        Baca Juga: Net Zero Waste Tegaskan Hasil Audit Sungai Watch Perlu Ditindaklanjuti Pemerintah Demi Stop Pencemaran Lingkungan

        Herman Darnel juga mengungkapkan kebutuhan listrik hingga tahun 2060 diperkirakan mencapai 2.200 hingga 2.600 Terawatthours di mana untuk mewujudkan net zero emission (NZE) 2060, sebagian besarnya harus diproduksi dari energi terbarukan dan dari sumber dan teknologi rendah karbon.

        Ia kemudian mengatakan cadangan energi terbesar Indonesia adalah energi surya. Di mana kebutuhan lebih dari 2.000 Terawatthours bisa dipenuhi walaupun letak geografis nanti menjadi permasalahan. 

        "Dengan kebutuhan 2.000-an Terawatthours sebenarnya semuanya bisa dipenuhi. Memang ini letak geografis akan menjadi permasalahan, tapi kalau kita butuh 2.000-an Terawatthours, di sini total energi yang bisa kita dispatch bisa mencapai hampir 5.000 Terawatthours. Jadi tidak masalah," ungkapnya.

        Baca Juga: Ragam Cara PTBA Dukung Net Zero Emission 2060

        Akan tetapi, Herman Darnel mengatakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) juga memiliki tantangan, seperti teknologi. 

        "PLTS ini juga ada tantangannya, teknologi untuk membuat penetrasinya melebihi 50% nanti pada 2040 atau bahkan sampai 80% menuju NZE," tambahnya. 

        Penulis: Putu Rusta Adijaya

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: