Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Proses Proyek KCJB Terus Sedot Dana Tiap Tahun, Pakar: Bahasa Kasarnya Lintah

        Proses Proyek KCJB Terus Sedot Dana Tiap Tahun, Pakar: Bahasa Kasarnya Lintah Kredit Foto: Kemenhub
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kembali menjadi topik pembicaraan hangat sejak Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan kembali dari Beijing, Tiongkok.

        Pada Senin (10/4) lalu, Menko Luhut mengatakan Tiongkok kini meminta agar proyek tersebut dijamin APBN. Padahal ketika menawarkan diri untuk bekerja sama dengan Indonesia pada tahun 2015, dengan pendekatan B2B atau bisnis ke bisnis, negara tersebut sama sekali tidak menuntut jaminan APBN.

        Tiongkok juga menolak untuk menurunkan bunga pinjaman ke angka 2 persen dan menetapkannya di angka 3,4 persen.

        Baca Juga: Soal Utang Proyek Kereta Cepat, Said Didu: Pemerintah yang Sekarang Adalah Bandar China!

        Mendengar permintaan tersebut, Luhut akhirnya mengusulkan pada pihak Tiongkok agar pinjaman proyek sebesar 8,3 triliun ini dijamin oleh PT Penjaminan Infrastruktur (Persero) alias PII. Kini, Tiongkok masih belum memberikan keputusan.

        "Ada masalah itu, tapi kalo dia (Tiongkok) mau tetap APBN, ya dia akan mengalami [prosedur] panjang," kata Luhut dalam konferensi pers. "Itu sudah diingatkan dan mereka sedang mikir-mikir."

        Semuanya bermula dari kesepakatan Indonesia dengan Tiongkok untuk mengerjakan proyek kereta cepat pada tahun 2015.

        Ketika itu, Tiongkok menawarkan dana pembangunan sebesar $5,13 miliar, yang lebih rendah dari tawaran Jepang sebesar $6,2 miliar.

        Namun setelah disepakati dan dimulai pada 2016, proyek yang ditargetkan rampung pada 2018 tersebut belum kunjung selesai.

        Ditargetkan beroperasi pada tahun 2019, proyek tersebut akhir Maret lalu berada di tahap 88,8 persen dan baru akan diresmikan pada Agustus 2023. Proyek tersebut juga mengalami pembengkakan biaya sebesar $1,2 miliar.

        Ekonom INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan belum pernah ada proyek dengan kerugian "separah ini." Karena bahkan sebelum rampung, KAI sudah mendapat suntikan sebesar Rp3,2 T untuk membiayai proyek tersebut.

        "Kalau saya katakan sih sebetulnya ini adalah buah dari perhitungan yang tidak cukup cermat."

        "Tidak hanya kita berbicara mengenai molornya operasi dari kereta cepat ... tapi juga ada cost overrun yang cukup besar dan bunga yang ditanggung pemerintah tidak sesuai kesepakatan di awal."

        Andry menilai bahwa proyek dengan Tiongkok ini dinyatakan lebih merugikan bila dibandingkan dengan tawaran Jepang dengan ongkos pembangunan senilai $6,2 miliar. Alih-alih menyebutnya 'debt trap' atau jebakan utang seperti kebanyakan orang, Andry mengatakan proyek tersebut "bahasa kasarnya seperti lintah."

        "Mungkin bukan debt trap, prosesnya lebih seperti menyedot terus-terusan setiap tahun. Ini yang menurut saya menjadi masalah," katanya.

        "Dia akan menyedot setiap tahun untuk PMN [Penyertaan Modal Negara] ini sendiri. Ini yang menurut saya jadinya mau tidak mau pasti APBN akan dikeluarkan.

        "Karena kalau tidak dilakukan itu dia akan menggerogoti keuangan dari KAI dan anggota dari joint venture yang lain."

        Indonesia dirugikan Andry menilai bahwa dari proyek ini sudah pasti Indonesia menjadi pihak yang dirugikan. Lebih spesifiknya, kerugian ini juga menurutnya akan dirasakan oleh pemilik bisnis perjalanan di luar kereta cepat tersebut.

        "Pemerintah kemungkinan besar akan mematikan transportasi lain, atau menyulitkan mereka untuk beroperasi supaya kereta cepatnya laku," katanya.

        Ia juga mengatakan jalur kereta dari Stasiun Halim yang tembus di Tegalluar, bukannya Bandung, juga tidak akan menguntungkan konsumen.

        "Dari segi biaya itu cukup besar ketimbang kita menempuh kereta yang biasa atau pun menempuh mobil melalui jalur darat," katanya.

        Dengan kerugian yang ditanggung Indonesia sejauh ini, Andry menilai bahwa proyek tersebut adalah "shake hand project" atau proyek berjabat tangan.

        "Menurut saya jangan-jangan proyek ini bukan melihat dari segi business wise nya saja, tetapi saya katakan ini menjadi istilahnya shake hand project untuk Belt and Road Initiative (Inisiatif Sabuk dan Jalan) masuk ke Indonesia," katanya.

        "Karena saya melihat bahwa dari segi perhitungan, bisnisnya meleset bahkan cukup jauh, lalu dari segi visibility nya menurut saya tidak cukup menguntungkan dari segi konsumen bahkan.

        "Jadi setelah kereta cepat ini, mulai proyek-proyek dari Tiongkok masuk, dan kita bisa lihat juga bahwa Belt and Road initiative dari segi master plan (rencana besar)nya itu memasukan kereta cepat Indonesia sebagai bagian infrastrukturnya mereka."

        Inisiatif Sabuk dan Jalan merupakan strategi pembangunan global yang diadopsi oleh Pemerintah Tiongkok dan melibatkan pembangunan infrastruktur dan investasi di 152 negara.

        Andry mengatakan Tiongkok menurutnya menjadi pihak yang diuntungkan meski "tidak terlalu besar" karena negara tersebut ikut mengeluarkan 40 persen untuk proyek tersebut.

        Di masa depan, ia mengkhawatirkan kesepakatan kereta cepat dengan Tiongkok ini akan mengundang investasi lain yang "tidak menguntungkan bagi Indonesia."

        "Dan ketika perhitungannya tidak cermat, maka Indonesia pada akhirnya akan dimanfaatkan dengan hal tersebut."

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: