Hore! Baca Majalah TIME Kini Gratis, Tepat di Umurnya yang Seabad
Majalah legendaris yang berbasis di Amerika Serikat, TIME, akan sepenuhnya menghapus layanan berbayar untuk versi digital atau paywall mulai 1 Juni 2023.
CEO TIME Jessica Sibley kepada Axios, dikutip hari Sabtu (29/4/2023), mengatakan penghapusan sistem berbayar tersebut otomatis membuat publik bisa mengakses seluruh artikel jurnalistiknya secara gratis.
Baca Juga: Data Intelijen Amerika Disadap Secara Realtime oleh Balon Mata-Mata China
Keputusan tersebut terbilang mengejutkan. Sebab, majalah TIME adalah salah satu media massa kredibel serta memelopori bisnis sistem berbayar untuk menjamin independensi redaksi.
Majalah TIME yang pada Maret lalu genap berusia 100 tahun, diketahui telah memiliki sejumlah bentuk paywall digital sejak 2011.
“Penghapusan sistem berbayar untuk mengakses semua artikel jurnalistik TIME merupakan keputusan bisnis dan editorial,” kata Sibley.
Sibley mengatakan, penghapusan sistem berbayar merupakan satu-satunya kesempatan untuk menjangkau lebih banyak audiens secara global.
“Dengan begitu, kami juga bisa menjangkau pembaca usia muda dan beragam. Ini sangat penting bagi saya dan Sam sendiri,” katanya, merujuk pada Pemimpin Redaksi TIME yang baru diangkat, Sam Jacobs.
Sam Jacobs sendiri adalah pemimpin redaksi termuda dalam sejarah TIME.
Setelah menghapus layanan berbayar, majalah TIME berencana memproduksi lebih banyak konten digital yang didukung iklan di lamannya, aplikasi seluler, serta akun media sosial resmi.
“Tapi TIME akan tetap berkomitmen meliput jenis topik yang sama secara editorial, terutama soal perubahan iklim, kesehatan, dan politik,” kata Sibley.
Untuk diketahui, majalah TIME kekinian memiliki 1,3 juta pelanggan cetak dan 250.000 pelanggan digital.
Jumlah pelanggan digital tersebut terbilang kecil bagi TIME dengan seluruh sejarah jurnalismenya.
“Dengan menghapus layanan berbayar, akan ada jutaan orang yang bisa mengakses artikel-artikel kami, termasuk konten arsip sejak 100 tahun lalu.”
Meski demikian, kata Sibley, manajemen tetap mengenakan biaya untuk produk cetak serta masih menawarkan versi digital berbayar dari majalah cetak (e-magazine) melalui pengecer seperti Amazon Kindle serta Apple News.
“Kami ingin menunjukkan sikap yang cerdas, yakni harus menjangkau lebih banyak orang, memperluas paparan merek TIME. Ini cara kami mengembangkan bisnis secara global,” kata Sibley.
Dia mengatakan, menggratiskan seluruh konten tidak secara otomatis menggadaikan independensi redaksi.
Sebaliknya, hal itu justru menghapus gesekan apa pun yang akan mencegah TIME memperluas audiensnya.
“Kami percaya pada demokratisasi konten,” tegas Sibley.
Pelanggan ‘kelelahan’
TIME kali pertama meluncurkan hard paywall atau sistem berbayar untuk laman digitalnya tahun 2011, dan diberlakukan terhadap semua konten majalah.
Belakangan, pada tahun yang sama, manajemen menambahkan sistem berbayar untuk semua arsipnya.
Pada tahun-tahun berikutnya, divisi bisnis TIME juga bereksperimen menerapkan sistem berbayar serta struktur pembayaran berbeda di berbagai mereknya.
Tahun 2015 dan 2016, ketika TIME masih menjadi bagian dari TIME Inc—dan memiliki banyak merek majalah cetak khusus—mereka mulai bereksperimen dengan sistem pembayaran per artikel.
Namun, sistem pembayaran per artikel itu gagal dan manajemen memutuskan kembali ke metode langganan bulanan pada tahun berikutnya.
Sementara tahun 2021, tiga tahun setelah TIME diakuisisi oleh miliarder Marc Benioff, perusahaan kembali ke paywall terukur di seluruh situsnya, termasuk arsipnya.
Beragam perubahan itu tak terlepas dari belum adanya cetak biru untuk sukses bagi media massa daring.
Di Amerika Serikat, banyak perusahaan media lebih condong ke sistem langganan selama kepresidenan Donald Trump dan era pandemi Covid-19. Tetapi dengan inflasi yang tinggi, beberapa orang mengalami kelelahan berlangganan.
Gannett, perusahaan surat kabar lokal terbesar di AS, mengurangi jumlah artikel berbayar untuk meningkatkan pendapatan iklan perusahaan.
Quartz, menghapus sistem berbayar untuk seluruh konten pada tahun 2022. Spotify ikut menggratiskan untuk sejumlah siniar atau podcast.
Sedangkan platform menonton berbayar seperti Netflix, Disney+, dan streamer lainnya telah memulai sistem paket berlangganan yang didukung iklan sehingga lebih murah demi mempertahankan pelanggan.
“Intinya, kami tidak sendirian. Semua pihak tengah membangun model bisnis baru yang tepat untuk mereka masing-masing," kata Sibley.
Bisnis event organizer
Sibley mengatakan, manajemen berupaya mengembangkan bisnis TIME, terutama melalui acara-acara serta event organizer.
Misalnya, tahun lalu, TIME memperluas pengadaan acara TIME100 Impact Awards hingga ke Dubai, Uni Emirat Arab.
Ia menyiratkan, arah bisnis TIME ke depan akan beralih ke sumber berbeda dari yang dibangun selama 1 abad ke belakang.
“Kami akan lebih banyak berkecimpung dalam bisnis pengorganisasian acara (event organizer) serta lisensi merek secara global."
Perusahaan, kata dia, memiliki fleksibilitas untuk bereksperimen dengan strategi langganan baru.
"Kami tahu bahwa dalam bisnis media, selalu mencari model baru dan melanjutkan transformasi digital dan perjalanan inovasi kami," kata Sibley.
Bagian dari proses itu termasuk "memahami perilaku konsumen dan memastikan bahwa kami bergerak ke arah yang benar dengan bagaimana konsumen terlibat dalam konten," tambahnya.
Selain melalui acara-acara, TIME juga mengembangkan bisnis video. Kekinian, TIME Studios—divisi TV dan film perusahaan—menghasilkan sekitar 25 persen dari pendapatan korporat.
Tahun lalu, divisi TV dan film TIME memperoleh pendapatan sekitar USD 200 juta atau setara Rp 2,9 triliun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: