Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Status Kemitraan: Akal-akalan Perusahaan untuk Eksploitasi Freelancer Industri Kreatif di Indonesia

        Status Kemitraan: Akal-akalan Perusahaan untuk Eksploitasi Freelancer Industri Kreatif di Indonesia Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Depok -

        Fenomena diverifikasi jenis hubungan kerja seperti freelance (pekerja lepas) merupakan implikasi langsung dari pesatnya perkembangan sistem ekonomi gig sejak tahun 1970-an, termasuk di Indonesia.

        Dengan segala kemudahan, fleksibilitas, dan otonomi kerja yang ditawarkan, sistem ekonomi gig secara eksponensial diproyeksikan akan menyumbang pendapatan yang signifikan di sektor ekonomi digital.

        Kajian yang dilakukan oleh Mastercard & Kaiser Associate (2019) mengklaim bahwa pada tahun 2018, ekonomi gig digital (digital gig economy) menyumbang sekitar 204 miliar dolar AS pendapatan global. Sementara itu, tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (compounded annual growth rate) mencetak angka 17,4 persen dan akan menghasilkan 455 miliar dolar AS di tahun 2023.

        Baca Juga: Cara Berinvestasi untuk Freelance yang Penghasilannya Tidak Tetap, Ternyata Bisa Untung Maksimal dengan Cara Ini!

        Sistem ekonomi gig memberi keleluasaan kepada perusahaan pemberi kerja untuk mengontrak pekerja dalam jangka waktu yang relatif pendek dengan menggunakan status kemitraan. Karena berorientasi pada hasil, industri kreatif merupakan industri yang paling diuntungkan dengan adanya narasi ini.

        Skema pekerja lepas (freelance) memungkinkan pekerja untuk mengambil beberapa proyek sekaligus dari pemberi kerja yang berbeda. Hal ini kemudian berimplikasi pada luasnya cakupan pekerja lepas industri kreatif untuk memilih proyek apa yang akan mereka kerjakan.

        Flexploitation dan Kerentanan Kerja Freelance Industri Kreatif

        Narasi fleksibilitas semacam ini terdengar sangat menjanjikan, tetapi pada saat yang sama juga sarat akan kerentanan kerja. Secara sederhana, kerentanan kerja pada pekerja lepas industri kreatif digambarkan dalam sebuah terminologi bernama flexploitation (fleksibel dan eksploitasi), yang diperkenalkan pertama kali oleh Pierre Bourdieu pada tahun 1997 untuk menyebut sistem kerja yang “sebentar-sebentar, tidak teratur, dan informal."

        Dalam flexploitation, pekerja mengalami kondisi kerja yang dipenuhi dengan tidak adanya kepastian dan perjanjian kerja, upah yang tidak layak, jam kerja yang melebihi batas normal, pengelabuan hubungan kerja, hingga ketiadaan jaminan perlindungan sosial.

        Maraknya praktik flexploitation yang menggeliat di industri kreatif kemudian menempatkan pekerja lepas pada risiko pekerjaan kreatif yang harus mereka hadapi secara individu.

        Perusahaan pemberi kerja memanfaatkan narasi fleksibilitas dan otonomi kerja untuk mengeksploitasi surplus yang dihasilkan oleh pekerja lepas industri kreatif. Sering kali ditemukan pekerja lepas yang bekerja menggunakan kontrak kasual, artinya perjanjian kerja dilakukan hanya melalui oral atau pesan singkat.

        Sementara itu, apabila pemberi kerja menawarkan kontrak kerja tertulis, pekerja lepas sering kali tidak diikutsertakan dalam penyusunan poin-poin perjanjian kerja. Hal ini kemudian membuat pekerja lepas industri kreatif tidak berdaya apabila mereka menerima tindakan sewenang-wenang dari pemberi kerja.

        Riset yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) pada 2021 juga memaparkan bahwa pekerja lepas industri kreatif cenderung merasa puas dengan pekerjaan mereka.

        Kendati demikian, kepuasan yang dirasakan oleh para pekerja tidak didukung oleh aspek-aspek lain yang menunjang kualitas pekerjaan mereka, misalnya seperti stabilitas dan jaminan pekerjaan, jam kerja yang layak, keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan, kesempatan dan perlakuan yang setara, serta lingkungan kerja yang aman.

        Dengan demikian, narasi “fleksibilitas” ini sekaligus menjadi bumerang yang dimanipulasi oleh perusahaan pemberi kerja melalui keleluasaan bekerja kapan saja dan di mana saja tanpa adanya hierarki manajerial. Hal ini dilakukan oleh perusahaan demi menekan resistensi dari pekerja-pekerja yang bersedia dibayar lebih murah dalam periode waktu yang juga terbatas.

        Dalam pandangan Marxis yang juga sejalan dengan Burawoy (1985) bahwa kelas pekerja mulai bertransformasi menjadi kondisi kelas yang sekarat (dying class) dan kehilangan temperamen revolusionernya. Perkembangan tren dalam rezim produksi telah ‘menjinakkan’ kelas pekerja yang kemudian menyebabkan melemahnya kelas pekerja industri.

        Dengan demikian, inferioritas pekerja lepas industri kreatif dalam pasar tenaga kerja telah membuat posisi tawar (bargaining position) dieksploitasi oleh perusahaan pemberi kerja. Alhasil, posisi ini  membuat pekerja lepas industri kreatif tidak bisa ‘melawan’ apabila mereka tidak menerima hak-hak normatif mereka.

        Bekerja Tanpa Perlindungan Negara

        Jika dianalisis menggunakan teori politics of production dari Burawoy (1985), skema kerja pekerja lepas masih terjebak dalam rezim produksi despotik (despotic production regime). Artinya, praktik flexploitation (fleksibel dan eksploitasi) yang terjadi pada pekerja lepas, khususnya pada industri kreatif, disebabkan oleh tidak adanya intervensi negara dalam mengafirmasi hak dan kepentingan pekerja lepas.

        Sampai saat ini, belum ada payung hukum yang secara khusus meregulasi skema kerja pekerja lepas (freelance). Payung hukum yang mendekati adalah perlindungan terhadap pekerja lepas harian, yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.

        Namun, perlu digarisbawahi bahwa pekerja lepas dan pekerja lepas harian merupakan dua terminologi hubungan kerja yang berbeda sehingga mempunyai kepentingan yang berbeda-beda pula. 

        Absennya perlindungan hukum tersebut dimanfaatkan oleh perusahaan pemberi kerja untuk mengelabui hubungan kerja pekerja lepas menjadi “mitra” alih-alih “pekerja”. Hal ini turut menjadi faktor yang signifikan dalam membuat tidak terpenuhinya hak-hak normatif pekerja lepas industri kreatif.

        Pada praktiknya, perusahan pemberi kerja sengaja merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 26 tentang Kemitraan untuk merekrut pekerja lepas. Padahal, aturan dalam pemenuhan hak normatif pekerja seharusnya merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

        Dengan demikian, tulisan singkat ini menunjukkan betapa rentannya pekerja lepas di dalam perkembangan ekonomi gig. Potret kerentanan kerja yang sudah dipaparkan sebelumnya patut mendorong kita untuk mengkritisi pengelabuan hubungan kemitraan pekerja lepas, khususnya pada industri kreatif di Indonesia saat ini.

        Status kemitraan membuat pekerja lepas industri kreatif tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang cukup kuat untuk menuntut dan mempertahankan hak-hak normatif mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sistem ini cenderung menguntungkan perusahaan pemberi kerja dengan cara mengeksploitasi inferioritas pekerja lepas di industri industri kreatif Indonesia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Novri Ramadhan Rambe
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: